Menjelang pemilihan kepala daerah serentak, janji-janji politik kembali menjadi sorotan. Para calon kepala daerah berlomba-lomba menawarkan program kerja di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan untuk menarik simpati dan dukungan publik.
- Pileg 2024, PKB Pagaralam Targetkan 5 Kursi DPRD
- Perjuangkan Nasib Non-ASN, Wahyu Sanjaya Usulkan Pengangkatan PPPK Paruh Waktu
- Pembubaran KAMI Jatim Sangat Merendahkan Martabat Demokrasi
Baca Juga
Namun, realitas menunjukkan banyak pemimpin yang ingkar janji setelah terpilih, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pengamat Politik Sumsel, Ade Indra Chaniago menilai janji politik yang tidak ditepati dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran moral. Dia merujuk pada pandangan Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, yang menegaskan pentingnya menepati janji. "Janji yang dibuat dengan niat untuk diingkari adalah tanda kemunafikan," ujarnya.
Keprithatinan dengan kondisi politik di Sumsel juga dirasakannya saat menyaksikan video kampanye calon gubernur Sumatera Selatan di media sosial yang banyak menghadirkan janji manis politik yang dinilai hanya omong kosong. "Saya prihatin melihat bagaimana janji-janji itu tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat," katanya.
Dia berharap agar para calon tidak hanya berfokus pada pencitraan, tetapi juga memberikan penjelasan yang mendidik kepada pemilih terkait visi, misi, serta alasan mereka layak dipilih.Menurutnya, kampanye pemilu harus menjadi bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat.
"Dengan adanya kampanye, masyarakat dapat menilai kemampuan calon, tetapi mereka juga harus melihat rekam jejak calon tersebut. Jangan hanya terpaku pada janji-janji manis," jelasnya.
Pendidikan politik, lanjut Ade, sangat penting agar masyarakat tidak menyesal dengan pilihannya selama lima tahun ke depan. Terkait kekuatan hukum janji politik, ia menjelaskan bahwa janji-janji tersebut tidak mengikat secara hukum karena tidak ada kontrak resmi antara calon pemimpin dan pemilih.
"Janji politik itu sifatnya hanya retorika untuk membujuk pemilih. Dalam konteks hukum perdata, janji politik tidak dapat dianggap sebagai perjanjian yang mengikat, sehingga tidak bisa dituntut secara hukum jika tidak dipenuhi," tambahnya.
Dosen Ilmu Politik ini juga mengingatkan masyarakat untuk menilai rekam jejak calon pemimpin, terutama calon petahana, agar tidak salah memilih.
"Masyarakat harus berhati-hati dalam menentukan pilihan. Jangan sampai terjebak dua kali oleh janji manis yang kosong. Di Sumsel misalnya, meskipun gubernurnya termasuk 10 terkaya, provinsi ini masuk 10 besar provinsi termiskin," tegasnya.
Dalam menghadapi tahun politik ini, masyarakat diimbau untuk lebih dewasa dan bijak dalam memilih pemimpin. "Masyarakat harus lebih kritis dan tidak mudah tertipu janji palsu. Pendidikan politik sangat penting untuk membangun demokrasi yang sehat dan mencegah terulangnya pemimpin yang ingkar janji," pungkasnya.
Disamping itu, masyarakat juga perlu melihat visi dan misi para calon berdasarkan kenyataan dan data yang valid, serta mewaspadai politik uang yang dapat merusak demokrasi.
"Masyarakat harus lebih cermat dalam memilih agar tidak menyesal di kemudian hari. Karena janji politik yang tidak ditepati tidak bisa dituntut secara hukum," tutupnya.
- Pengamat Sebut Demokrasi di Empat Lawang Masih Hidup, PSU Memberi Kesempatan Rakyat Pilih Bupati Baru
- Hasil Rekapitulasi Pilgub Sumsel di 17 Wilayah, HDCU Unggul di 15 Daerah, ERA Kuasai Palembang, Matahati Dominasi Ogan Ilir
- TNI dan Polri Bersinergi, Korem 044/Gapo Siap Amankan Pilkada Serentak 2024 di Sumsel