Rupa Komunikasi Politik Domestik 2019



TAHUN ini merupakan periode komunikasi yang melelahkan dalam kerangka politik. Sebagai tahun politik, hingar bingar dan keriuhan kontestasi politik tidak dapat dipisahkan.

Sekurangnya magnitude politik terkonsentrasi pada periode babak pencalonan, kampanye, pemilihan serta konflik setelahnya, hingga fase rekonsiliasi.

Sebagaimana siklus tahun politik, maka efektivitas pemerintahan berseling dengan waktu penentuan kandidat. Para aktor politik, mempersiapkan diri, melakukan kompromi dan negosiasi, bersiap untuk menjadi kandidat.

Drama politik terjadi, nama para calon santer beredar secara liar, hingga pada akhirnya kutub pemilihan terbagi menjadi dua bagian, seolah sekuel dari pertarungan politik ulangan di 2014.

Memasuki periode kampanye, suhu politik semakin bertambah hangat. Masing-masing kubu menggunakan simbol-simbol politik untuk menciptakan simpati dan membangun persuasi.

Pada situasi ini, kita mencatat bagaimana sosial media dan media internet menjadi model komunikasi yang mudah dikonsumsi publik. Problemnya, tingkat literasi yang rendah, rentan dimanipulasi.

Aspek komunikasi yang berkembang menggunakan jalur retorika, hanya sebatas kemampuan mengelola perasaan -pathos. Kehilangan ruh -ethos sebagai kredibilitas dan logos yang menjadi dasar rasionalitas.

Rentetan survei politik menjadi sarana efektif untuk meneguhkan posisi masing-masing kandidat. Sulit memastikan mana lembaga survei yang bebas nilai. Semua memiliki motif dengan bias kepentingan.

Penggunaan strategi digital, diamplifikasi dengan menggunakan sosial media. Justru yang terlihat adalah kegiatan dengan memajukan sentimen dibandingkan konsep gagasan.

Hal ini merendahkan kualitas kontestasi, menjadi seolah perlombaan soliditas paduan suara dalam mendukung jagoannya tanpa pandang bulu. Rivalitas memuncak, hingga akhir pemungutan suara.

Noise Berkepanjangan

Problemnya, para aktor politik memanfaatkan momentum itu tanpa terkendali. Friksi yang semakin meninggi tidak juga kunjung diredakan. Nampak semakin menabalkan konsolidasi kelompok.

Walhasil, selain membangun sikap untuk saling tidak percaya, penuh kecurigaan, menguatkan pembenaran diri, merefleksikan kepentingan kandidat yang didukung dalam kontes politik.

Kerja politik yang sangat keras, menghadirkan fenomena kelelahan dan kematian para petugas yang masih menyisakan ruang tanya. Sesuatu yang tidak diantisipasi dengan baik sebelumnya.

Kita mulai semakin dalam berada di jurang keterpisahan, bahkan semakin melebar. Pun ketika hasil diumumkan, ternyata tidak menuntaskan persaingan. Konflik berlanjut melalui jalur legal konstitusional.

Hingga kemudian kerusuhan terjadi, sebagai akibat dari rasa ketidakpercayaan atas penyelenggaraan dan ketentuan hasil. Rusuh massa, dituai dari kerasnya pergesekan politik.

Dalam bahasa komunikasi situasi ini dikenal sebagai skema irreversible, upaya persuasi dengan agitasi dan propaganda menghasilkan makna yang sulit dikembalikan ke posisi semula. Publik terbelah, menjadi kubu kami dan mereka.

Apa yang terjadi di bawah tingkat akar rumput, justru berbalik dengan rekonsiliasi tingkat elite yang kemudian dikenal sebagai rekonsiliasi oligarki. Publik yang terpolarisasi, adalah hasil dari pergulatan oligarki dalam memastikan kepentingan politiknya.

Kabinet dan Masa Depan

Setelah koalisi gemuk terbentuk, dengan dominasi parlemen dan posisi di pemerintahan, maka kita masih menunggu bagaimana mesin birokrasi baru ini bekerja. Satu yang kemudian masih tersisa sebagai residu politik adalah pekatnya nuansa politik dalam setiap gerak pemerintah.

Meski diakui sebagai sebuah terobosan, dengan mengikutsertakan kelompok muda milenial dalam posisi menteri dan sebagai staf khusus, perlu dilihat dampaknya di masa mendatang. Problem utamanya, publik belum juga sampai pada normalitas awalnya. Distrust menguat. Kelompok penggiat demokrasi dan anti korupsi pun memendam kecewa.

Perlu dibuat narasi yang kuat, untuk selaras dengan apa yang menjadi visi kekuasaan, yakni pembangunan tidak hanya terkirim -sent, tetapi juga dipastikan tersampaikan -delivered. Kabinet Indonesia Maju dituntut untuk segera memformulasi bentuk kerja yang harus dilakukan.

Tidak bisa menunggu, waktu kerja kekuasaan terpilih harus berkejaran dengan waktu. Periode kedua pemerintahan perlu menjadi ajang pembuktian, utamanya bagi pemenuhan kepentingan serta hajat publik. Legacy yang akan ditingalkan, harus mampu membawa harapan bagi publik.

Pada kajian komunikasi, dikenal proksemik, dimana terdapat upaya untuk membangun kekuatan dari interaksi sosial, mendekatkan jarak kekuasaan dengan publik. Dengan begitu kekuasaan akan menjadi terbuka serta transparan, guna membangun kepercayaan. Jika harapan publik terbentuk, legitimasi kekuasaan semakin menguat, kita akan menatap masa depan dengan kepala tegak.

Publik harus menjadi pusat kepentingan kekuasaan, bukan hanya objek pelengkap dan penyerta kekuasaan semata.

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid