Kegiatan pemulihan lahan gambut yang rusak di Sumsel harus melibatkan seluruh stakeholder. Mulai dari pemerintah, perusahaan pemilik konsesi dan juga masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut. Kolaborasi ini membuat restorasi lahan gambut dapat tercapai dengan cepat dan tepat sasaran.
- Musim Kemarau Tahun 2023 Diperkirakan Lebih Kering, 3 Kabupaten di Sumsel yang Miliki Lahan Gambut Diminta Waspada
- Kanada Beri Bantuan Rp190 Miliar untuk Pengelolaan Gambut di Indonesia
- Susun Dokumen RPPEG, Pemkab OKI Identifikasi Isu Strategis Perlindungan Gambut
Baca Juga
Peneliti Muda Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Mimi Saiminah mengatakan, tantangan dari pemulihan lansekap gambut yakni menyatukan banyak kepentingan dari stakeholder. Masing-masing kepentingan stakeholder terkadang memiliki tujuan yang bertolak belakang.
“Sehingga harus dimanage untuk disinergikan agar tidak bertabrakan satu sama lain,” kata Mimi saat Webinar Kolaborasi untuk Restorasi dengan tema ‘Upaya Pemulihan Hutan Gambut di Lanskap Sembilang’ yang digelar Forum Jurnalis Sumsel, Senin (27/12).
Mimi mencontohkan saat pembuatan kanal bloking di areal gambut untuk mengatur tata air. Aktivitas ini kerap menimbulkan permasalahan. Khususnya di masyarakat bagian hilir. “Ada impact terhadap masyarakat hilir. Baik kekeringan maupun kebanjiran,” ucapnya.
Keseluruhan proses restorasi, sambungnya harus melibatkan peran masyarakat sekitar. Mencocokkan berbagai program ataupun pembangunan infrastruktur di kawasan gambut dengan kepentingan mereka.
“Kalau tidak dilibatkan, resiko kegagalan sangat tinggi. Sebab akan ada penolakan jika tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Jangan sampai menentukan titik kanal bloking malah mengganggu akses masyarakat menuju lahannya,” terangnya.
KLHK saat ini tengah mengembangkan tools monitoring ekosistem untuk mengawasi capaian kegiatan restorasi yang dilakukan perusahaan konsesi. “Sekarang sedang kami kembangkan. Tolok ukurnya bisa dari serapan karbon dihasilkan,” bebernya.
Nassat Idris dari Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) mengatakan, restorasi lahan gambut harus mengkolaborasikan tiga hal. Yakni produksi, proteksi dan inklusi. “Ketiga hal ini harus dijalankan berbarengan sebagai pembangunan berkelanjutan,” terangnya.
Menurutnya, kegiatan restorasi tidak hanya melulu pada infrastruktur berupa sekat kanal dan tanam tumbuh di kawasan gambut. Lebih dari itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat juga harus dimaksimalkan.
“Dengan pemberdayaan ekonomi ini, masyarakat dapat ikut serta menjaga lahan gambut. Minimal, tidak memasuki atau merambah kawasan gambut yang ada di dekat lingkungannya,” terangnya.
Sementara itu, Head Lanscape Conservation – HSE APP Sinar Mas, Jasmine N Doloksaribu, mengungkapkan, target restorasi kawasan gambut di lansekap Sembilang mencapai 12.078 hektar. Target tersebut akan terealisasi di akhir 2022 mendatang.
“Kalau capaian saat ini sudah 5.338 hektar di dalam konsesi. Sementara di luar konsesi sudah 750 hektar,” ucapnya.
Dia menjelaskan, keterlibatan masyarakat dalam proses pemulihan lahan gambut tersebut selama ini sangat penting. Sebab, bisa mengurangi potensi kerusakan yang lebih parah.
“Pemulihannya harus berasal dari kemauan masyarakat. Artinya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki mereka,” tandasnya.
- Libatkan Masyarakat Jaga Lahan Gambut
- Gawat, Ratusan Hotspot Mulai Bermunculan di Sumsel
- APP Sinar Mas Siapkan 369 Personel RPK, Kerahkan Dua Helikopter untuk Deteksi Karhutla