Respons Gubernur Sumsel dan KPU Terkait Warga Tegal Binangun Ancam Golput Bila Tak Masuk Wilayah Palembang

Gubernur Sumsel Herman Deru (ist/rmolsumsel.id)
Gubernur Sumsel Herman Deru (ist/rmolsumsel.id)

  Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sudah semakin dekat. Setiap warga tentunya memiliki hak memilih dan dipilih. Begitu juga dengan warga Tegal Binangun, memiliki hak yang sama. Namun, dalam menyampaikan aspirasinya kemarin, warga sempat mengancam akan menjadi golongan putih (Golput) alias tidak mau memilih pada pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.


Terkait dengan adanya ancaman ini Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Herman Deru ,  menjelaskan jika yang namanya memilih itu adalah hak setiap warga negara.

“Jadi memilih itu adalah hak setiap warga negara yah. Bukannya kewajiban. Jadi harus kita pisahkan itu,” kata  Gubernur, Senin (5/6).

Jadi apakah nantinya sambung Gubernur, warga setempat akan menunaikan haknya memilih atau tidak memilih itu adalah hak setiap warga negara.

“Dan itu juga merupakan pilihan bagi setiap warga negara. Dan ini menyangkut  persoalan tapal batas saya ingin cepat selesai. Dimana persoalan ini telah berlarut-larut. Sudah lima tahun lebih. Dan saya berharap nantinya  antara Pemkab Banyuasin dan masyarakat Tegal Binangun, ada semacam win-win solution,”jelasnya.

Sementara itu, terkait dengan adanya ancaman warga. Ketua KPU Sumsel, Amrah Muslimin, menjelaskan tidak ada warga negara yang dipidana lantaran mereka memilih golput. 

“Jadi tidak ada warga negara yang dipidana lantaran mereka golongan putih. Dan KPU Sumsel juga melakukan pidana pemilu, kalau seandainya memaksa orang harus memilih,”ujarnya.

“Pemilu itu kan bebas, jadi ketika warga disana memilih untuk golput, kita tidak bisa untuk memaksakan mereka harus memilih,”tambah Amrah. 

Yang menjadi persoalannya apa? “Setahu saya mereka ber KTP Palembang, dari jauh-jauh hari sebelumnya. Dan sekarang sudah ada keputusan Kementerian Dalam Negeri yang baru. Itulah payung hukum KPU. Jadi KTP mereka sebagai orang Palembang berlaku. Dan wilayahnya berlaku adalah wilayah Banyuasin,” katanya.

Sekarang yang menjadi persoalan menurutnya , KPU boleh tidak mendirikan TPS di Banyuasin. Sedangkan warganya ber KTP kota Palembang.

“Tentu jawabannya tidak boleh. Karena KPU mendirikan TPS berbasis wilayah.  Jadi TPS Palembang, harus didirikan di wilayah administratif kota Palembang. Kalaupun dipaksakan maka KPU akan melanggar aturan. Kalau KPU menyalahi aturan, maka penyelenggara menyalahi aturan. Kalau penyelenggara menyalahi aturan maka hasil pemilu tidak sah. Jadi 3 ribu mata pilih kalau di akomodir maka hasilnya tidak sah. Kita ketahui dari berita sekitar 3 ribu orang,” katanya.

Lantas apa solusinya? Menurut Amrah tentu pasti akan dicarikan oleh KPU solusinya.

“Salah satunya adalah akan didirikan TPS yang dekat perbatasan kota Palembang. Mereka yang datang ke tempat yang kami sediakan. Itulah salah satu solusi yang akan kita ambil. Atau pilihan lainnya, kita dirikan di tempat mereka. Tetapi, status mereka adalah warga kota Palembang yang memilih di Banyuasin. Kalau dia warga Palembang yang memilih di Banyuasin, maka dia disebut warga pemilih yang pindah TPS. Kalau dia pindah tempat memilih, maka surat suara tidak bisa lima-limanya. Surat suara presiden, surat suara DPD, surat suara DPR RI,” ujarnya.

Karena itu, Amrah meminta walikota Palembang dan Bupati Banyuasin, pertama tapal batas ternyata memunculkan persoalan. Bukan hanya di bidang ekonomi, sampai pada dampaknya ke pemilu. Karena itu, harus kita pikirkan semua. “ KPU bekerja dengan kepastian hukum. KPU tidak bisa akomodir pendapat yang salah. Jadi yang kita akomodir adalah yang benar dan punya dasar hukum,” katanya.