Nama Bambang Hero Saharjo tengah menjadi sorotan publik setelah ia dilaporkan ke Polda Bangka Belitung (Babel) oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Putra Putri Tempatan (Perpat) Babel atas dugaan kejanggalan perhitungan kerugian lingkungan dalam kasus mega korupsi tata niaga timah 2015-2022.
- Wapres Maruf Amin Minta Polri Ungkap Motif Penembakan Kantor MUI
- Gara-gara Wastafel, Bupati Ini Digugat ke Pengadilan
- Hadir Langsung di Pengadilan, Alex Noerdin dan Muddai Saling Bersaksi
Baca Juga
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini sebelumnya ditunjuk sebagai saksi ahli oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk menghitung kerugian lingkungan akibat aktivitas pertambangan, yang totalnya mencapai Rp271 triliun.
Bambang Hero lahir di Jambi dan menghabiskan masa kecilnya dengan membantu keluarga berjualan es mambo sambil sekolah.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB dan meraih gelar sarjana pada 1987.
Berkat prestasinya, Bambang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Kyoto University, Jepang, pada 1996, dan menyelesaikan program doktoralnya di universitas yang sama pada 1999 dengan fokus pada sumber daya hutan tropis.
Sebagai akademisi, Bambang menjabat sebagai Guru Besar di IPB, mengajar, dan aktif melakukan penelitian di bidang lingkungan.
Salah satu bidang yang menjadi spesialisasinya adalah emisi gas rumah kaca akibat kebakaran gambut, yang bahkan menarik dukungan dari lembaga internasional seperti NASA.
Bambang dikenal sebagai ahli forensik kebakaran hutan yang telah membantu penegakan hukum di lebih dari 400 kasus kebakaran hutan di Indonesia. Ia kerap bekerja sama dengan Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Atas dedikasinya, Bambang menerima penghargaan John Maddox Prize 2019, yang diberikan kepada individu yang gigih membela ilmu pengetahuan meski menghadapi tekanan.
Sebagai saksi ahli dalam kasus korupsi tata niaga timah, Bambang diminta menghitung dampak lingkungan yang mencakup kerusakan di kawasan hutan dan non-hutan. Dengan menggunakan analisis citra satelit dan data ilmiah, ia menyimpulkan kerugian sebesar Rp271 triliun. Menurut Bambang, penghitungan ini penting untuk mencerminkan dampak jangka panjang pada ekosistem dan kesehatan masyarakat.
Namun, perhitungan tersebut dipertanyakan oleh pihak Perpat Babel. Mereka menuding metode dan data yang digunakan tidak akurat dan kurang transparan. Perpat juga menyoroti bahwa yang berwenang menghitung kerugian negara seharusnya adalah ahli keuangan, bukan ahli lingkungan seperti Bambang.
- Dua Buruh Tani di Muratara Banting Setir Jual Narkoba, Berakhir di Penjara
- Polri Tangkap Dua WNA China Anggota Sindikat Penipuan Online Fake BTS dan SMS Blast
- Pengacara Sebut Kabar Tuntutan Mati Munarman Hoax