Pilpres Kazakhstan, Petahana Menang Telak Usai Raih  Suara 82,45 Persen

Presiden Kazakstan Kassym-Jomart Tokayev/Net
Presiden Kazakstan Kassym-Jomart Tokayev/Net

Kazakhstan nampaknya akan tetap berada dalam kekuasaan Kassym-Jomart Tokayev setelah hasil exit poll menunjukkan bahwa sang petahana berada dalam kemenangan telak.


Lembaga studi regional internasional Open Society menyebutkan bahwa Tokayev memimpin dengan perolehan 82,45 persen.

Pemilihan presiden awal diadakan di Kazakhstan pada Minggu (20/11) dengan enam kandidat, termasuk petahana Tokayev, bersaing memperebutkan jabatan presiden, seperti dilaporkan Reuters.

Lebih dari 10.000 tempat pemungutan suara, termasuk 68 di 53 negara asing, dibuka untuk 11,95 juta pemilih yang memenuhi syarat.

Diperkirakan jumlah pemilih pada tahun ini mencapau 69,43 persen, seperti yang dilaporkan Komisi Pemilihan Umum Pusat.

Meskipun menyebut dirinya sebagai seorang reformis, Tokayev tidak mengizinkan partai oposisi asli untuk mendaftar dan mengambil bagian dalam pemilihan.

Lima rekan kandidatnya - termasuk dua wanita - adalah sosok yang kurang dikenal yang tidak dilihat sebagai pesaing nyata.

Saat orang-orang berduyun-duyun ke kotak suara, beberapa kelompok skala kecil di Almaty membentuk aksi protes mengatakannya sebagai pemilihan ilegal.

Polisi menahan beberapa belasan orang dengan tuduhan pelanggaran ringan.

Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), yang mengirimkan tim pemantau untuk mengamati pemungutan suara, akan memberikan penilaiannya pada 21 November.

Menjelang pemungutan suara, OSCE mengkritik kegagalan Kazakhstan untuk memenuhi rekomendasi pemilu, termasuk "kondisi kelayakan dan pendaftaran kandidat."

Pengamat independen dari LSM Kazakh mengatakan dalam banyak kasus mereka menghadapi pembatasan dalam upaya memantau pemungutan suara.

Pemilihan 20 November terjadi hampir tiga bulan setelah Kazakhstan mengganti sistemnya yang membatasi presiden menjadi dua masa jabatan lima tahun berturut-turut dengan satu masa jabatan tujuh tahun.

Perubahan konstitusional diusulkan oleh Tokayev sebagai bagian dari kampanyenya untuk menciptakan apa yang disebutnya "Kazakhstan baru", seperti dikutip dari Radio Liberty.

Pemilihan presiden awalnya dijadwalkan pada 2024 dan pemilihan parlemen pada 2025. Tetapi pada bulan September, Tokayev menyerukan pemilihan presiden dan parlemen lebih awal, dengan mengatakan mandat baru diperlukan untuk "mempertahankan momentum reformasi" setelah referendum bulan Juni yang mencopot mantan Presiden Nursultan Nazarbaev dari "elbasy" (pemimpin bangsa).  

Referendum untuk mengubah konstitusi yang mencakup batas masa jabatan presiden yang baru telah disampaikan oleh Tokayev sebagai langkah penting untuk mengubah Kazakhstan dari "bentuk pemerintahan super-presidensial menjadi republik presidensial dengan parlemen yang kuat."

Kazakstan adalah sekutu dekat Rusia. Dalam kerusuhan Januari, Tokayev meminta bantuan Putin untuk mengamankan negaranya. Namun, ketika Rusia meluncurkn invasinya ke Ukraina, Tokayev memilih menjauhi Putin, menginstruksikan  menjaga jarak dari Moskow, menghindari memberikan dukungan publik untuk perang Rusia di Ukraina.

Tokayev menjabat sebagai Presiden Kazakhstan pada 20 Maret 2019, menggantikan Nursultan Nazarbayev yang mengundurkan diri dari jabatannya setelah 29 tahun menjabat.