Bertepatan dengan konferensi COP 26 di Glasgow, Skotlandia, jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB) bersama Watchdoc meluncurkan film dokumenter terbaru secara terbatas berjudul Baradwipa pada malam ini, Selasa (9/11).
- Pemerintah Diminta Bentuk Timwas Lawan Kartel Minyak Goreng
- Rajapaksa Umumkan Darurat Negara Bagi Seluruh Sri Lanka
- Desa di Spanyol Dijual Rp4 Miliar, Ada yang Mau Beli?
Baca Juga
Peluncuran terbatas ini ditandai dengan nonton bareng serentak diberbagai daerah di Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Palembang dan Kabupaten Lahat.
Film dokumenter tersebut merupakan serangkaian kegiatan aksi damai untuk mengirimkan pesan pemimpin dunia agar meninggalkan candu terhadap batubara karena krisis iklim saat ini semakin parah terjadi diberbagai belahan dunia.
“Jokowi terus bicara krisis iklim di forum global dan sangat percaya diri mengklaim bahwa pemerintahannya serius dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, yang dilakukan Jokowi di dalam negeri justru sebaliknya. Jokowi dan pemerintahannya terus membangun pembangkit energi kotor yang hanya akan memperburuk iklim global dan mengancam keselamatan warganya sendiri,” ujar Ali Akbar, Konsolidator STUEB.
Saat pemimpin global berbalas pidato yang berapi-api dan berseru tentang pentingnya menangani krisis iklim, masyarakat di Sumatera telah lebih dahulu hidup dalam krisis itu sendiri. Masyarakat di sekitar PLTU telah lama menderita akibat pembakaran batubara. Abu dan debu batubara menjadi makanan sehari-hari yang membuat paru-paru mereka lebih cepat rusak.
PLTU juga menyebabkan kerusakan terhadap sumber mata pencaharian warga baik di pertanian maupun di pesisir pantai. Film dokumenter Baradwipa merekam dampak nyata yang dialami warga Sumatera akibat industri energi kotor batubara. Lewat film dokumenter dan aksi, Sumatera menyerukan pesan penting mengingat masifnya proyek energi kotor batubara yang tengah direncanakan Jokowi.
Padahal cadangan daya listrik di Sumatera mencapai 4.263 megawatt (MW) dari 25 unit PLTU yang telah beroperasi. Dengan kapasitas tersebut, saat ini surplus pasokan listrik sebesar 55 persen. Namun pemerintah masih bersikeras membangun 22 unit PLTU baru dengan total kapasitas 6.789 MW. Mayoritas PLTU-PLTU tersebut teridentifikasi didukung oleh institusiinstitusi keuangan Tiongkok.
Sejauh ini rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo tak memiliki komitmen serius dan tindakan nyata dalam upaya penanganan dampak krisis iklim. Meski negara-negara di tingkat global mulai berkomitmen meninggalkan industri batubara yang tinggi emisi, pemerintah Indonesia, lewat berbagai paket kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja, justru terus memberi karpet merah bagi industri energi kotor batubara.
Tak hanya itu, Siti Nurbaya Bakar, yang dua kali menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode pertama dan kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, menyatakan bahwa pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh presiden tidak boleh berhenti atas nama deforestasi atau atas nama emisi karbon.
“Pola pembangunan yang dilakukan terus memicu ketimpangan yang berakar pada kerusakan lingkungan, dan tidak mampu melindungi hak dasar seluruh masyarakat Indonesia. Para oligarki ekstraktif tambang dan batubara terus menikmati paradigma pemerintah selama ini terutama kini di Sumatera,” kata Ahmad Ashov Birry, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan akan berhenti membangun PLTU pada 2030. Namun, faktanya tidak demikian. Terkhusus di Pulau Sumatera, pemerintah berencana membangun 22 PLTU baru dengan total kapasitas mendekati 7 GW sampai tahun 2028. Status proyek-proyek PLTU ini bervariasi, yakni 3 unit dengan total kapasitas 2000 MW dalam status konstruksi, dan 19 unit dengan total kapasitas 4790 MW berstatus pra-konstruksi. Dengan perhitungan masa beroperasi PLTU hingga 20-30 tahun ke depan, maka dapat dipastikan PLTU-PLTU baru ini akan jauh melewati tenggat komitmen penghentian pembangunan pada ini juga akan membuat Indonesia secara otomatis tidak dapat mencapai target sesuai Perjanjian Paris.
“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak memperolok-olok masyarakat global tentang komitmen iklim dan segera ambil tindakan nyata untuk menghentikan pembangunan PLTU baru di Indonesia terutama di Sumatera.” ujar Sumiati Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari.
Untuk diketahui, pembakaran batubara nyata sebagai bahan pencemar berat dan kontributor emisi global penyebab pemanasan global. Sekitar 44% emisi karbon itu merupakan sumbangan dari pembakaran batubara.
- Presiden Prabowo Tanam Padi Serentak di Sumsel, Dorong Swasembada hingga Jadi Lumbung Pangan Dunia
- Terungkap di Persidangan, Saksi Ungkap Deliar Marzoeki dan Alex Peras Perusahaan Lewat Surat Kelayakan K3
- Ribuan Jemaah Padati Tabligh Akbar Bersama Ustaz Adi Hidayat di Masjid SMB I Palembang