Aktivitas penambangan di luar Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi salah satu kejahatan serius yang harus diberikan sanksi tegas dari pemerintah. Sebab, tak hanya berdampak terhadap kerusakan lingkungan tapi juga keselamatan warga sekitar.
- Kasus Penambangan Ilegal, Kejagung: Kerusakan Lingkungan Tanggung Jawab PT Timah
- Hendry Lie Tersangka Baru Kasus Korupsi PT Timah Ditangkap Kejagung
- Lantik Dirjen Minerba Baru, Bahlil: Hapus Konsultan dan Reformasi Kebijakan!
Baca Juga
Demikian diungkapkan Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Farah Fahmi Namakule saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel, Rabu (21/9).
"Harus ditindaklanjuti dan diberi sanksi tegas. Supaya memberi efek jera bagi pelaku usaha lainnya," katanya.
Seperti pengaduan yang dilayangkan Lentera Hijau Sriwijaya terhadap dugaan aktivitas penambangan di luar IUP PT Banjarsari Pribumi (BP) ke Kementerian ESDM dan KLHK beberapa waktu lalu. Pemerintah harus bersikap responsif dengan menurunkan tim ke lapangan untuk mengusut dugaan tersebut.
"Jangan sampai menunggu korban, baru ditindaklanjuti," ucapnya.
Selain merugikan warga sekitar, jenis kejahatan tambang tersebut juga berpotensi merugikan negara. Karena aktivitas kawasan di luar IUP tidak pernah dilaporkan. Sehingga tidak diketahui, berapa besar hasil alam yang dikeruk atau diperjual belikan dari areal tersebut.
“Pemulihan lingkungan berupa reklamasi pasca tambang juga tidak akan dilakukan di areal itu. Tentu ini sangat merugikan,” bebernya.
Farah mengatakan, kegiatan penambangan diluar IUP jelas telah melanggar UU No3/2020 tentang perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Seperti yang tertuang dalam Pasal 158 berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)”.
Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 159 yang berbunyi: Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110 atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Ditambahkan Fajar Budiman selaku Sekjen DPN Permahi mengatakan, Sumsel khususnya Kabupaten Lahat telah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup parah akibat aktivitas sektor pertambangan. Masyarakat harus berteman dengan debu dan limbah yang dihasilkan oleh perusahaan tambang batubara.
"Di saat perut buminya dikeruk demi keuntungan perusahaan, masyarakat Sumsel harus merasakan dampak kerusakan lingkungannya," kata Fajar yang merupakan putra asli Sumsel ini.
Sehingga, Fajar mendorong pemerintah segera menindak perusahaan yang melanggar aturan. "Jangan hanya mengejar keuntungan semata, aturan yang sudah dibuat ini terus-terusan dilanggar. Harus ada tindakan tegas dari pemerintah. Masyarakat jangan sampai dikorbankan," ucapnya.
Sebelumnya, massa aksi Lentera Hijau Sriwijaya (LHS) terus menyuarakan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Banjarsari Pribumi. Kali ini, mereka menyambangi Kantor Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna melaporkan dugaan penambangan di luar IUP serta kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan bagian dari Titan Grup tersebut.
"Kami menuntut Kementerian ESDM maupun KLHK segera menindak perusahaan karena telah melakukan pelanggaran aturan. Baik itu di bidang pertambangan maupun lingkungan," kata Ketua LHS, Febri Zulian usai menggelar aksi, Jumat (16/9) pagi.
Dia mengatakan, telah menyerahkan berkas temuan tersebut ke dua kementerian tersebut. Bahkan, untuk KLHK, pihaknya juga membuat laporan dan pengaduan (Lapdu) mengenai dugaan kerusakan lingkungan dan kerusakan hutan yang berada di sekitar wilayah IUP PT Banjarsari Pribumi, tepatnya di kawasan Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat.
"Kami sudah membuat laporan di KLHK mengenai kejahatan lingkungannya," bebernya.
Febri menjelaskan, tuntutan mereka bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengamatan melalui citra satelit serta peta IUP Kementerian ESDM, pihaknya menemukan jika aktivitas penambangan telah berada di luar wilayah IUP.
“Ada beberapa wilayah yang sudah dilakukan aktivitas penambangan. Setelah dicocokkan, ternyata areal ini berada diluar IUP perusahaan,” tandasnya.
- Proyek DME Bakal Dibiayai Danantara, Pemerintah Dinilai Untungkan Oligarki
- Dua Pejabat ESDM Dicopot di Tengah Isu LPG 3 Kg dan Kasus Dugaan Korupsi Migas
- Larangan Penjualan Elpiji 3 Kg di Pengecer, DPRD Palembang: Aturan Jangan Persulit UMKM