Pendapatan Kecil Hingga Imej Jorok, Alasan Milenial Tak Mau Jadi Petani

Suasana Seminar Nasinal bertajuk Agripreneurship sebagai Re-solusi Pengembangan Generasi Petani Milenial dan Penyejahteraan Sosial Ekonomi Keluarga yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri). (ist/rmolsumsel.id)
Suasana Seminar Nasinal bertajuk Agripreneurship sebagai Re-solusi Pengembangan Generasi Petani Milenial dan Penyejahteraan Sosial Ekonomi Keluarga yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri). (ist/rmolsumsel.id)

Sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar di masa Pendemi Covid-19. Namun, di tengah keberhasilan tersebut sektor pertanian juga turut dihadapkan masalah yangbisa mengancam keberlangsungan sektor ini kedepannya. 


Berdasarkan data lebih dari 60 persen petani di Indonesia merupakan petani yang berusia diatas 45 tahun. Dari 27,7 juta petani Indonesia, hanya sekitar 9,1 juta saja yang berusia milenial. Turunnya minat generasi muda untuk terjun di sektor pertanian membuat jumlah petani terus menurun setiap tahunnya. 

“Berdasar data BPS, terlihat petani di Indonesia didominasi petani struktur umur yang relatif tua. Sedangkan kaum milenial enggan untuk bekerja sebagai petani. Hal ini jika berlangsung terus dari tahun ke tahun maka dapat diperkirakan pada masa akan datang Indonesia akan kekurangan petani. Padahal petanilah yang menghasilkan bahan pangan, buahan dan sayuran yang esensial bagi kehidupan manusia,” kata Guru Besar Pertanian Universitas Gadjah Mada, Prof Dwidjono Hadi Darwanto saat menyampaikan materi dalam Seminar Nasinal bertajuk Agripreneurship sebagai Re-solusi Pengembangan Generasi Petani Milenial dan Penyejahteraan Sosial Ekonomi Keluarga yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri), Sabtu (16/10). 

Lulusan terbaik University of the Philippines Los Banos ini menjelaskan, kondisi tersebut merupakan peringatan dini yang memprihatinkan bagi keberlanjutan pertanian Indonesia. Sebab, rendahnya minat pemuda Indonesia terhadap pekerjaan di sektor pertanian, membuat Indonesia terancam kehilangan profesi petani di masa yang akan datang.

Berdasar kajiannya, keengganan kaum milennial bekerja sebagai petani lantaran imejnya bekerja di lingkungan kotor. Selain itu, pendapatan yang kecil juga menjadi pemicu lainnya. Sehingga, dibutuhkan perbaikan dalam sektor pertanian untuk menarik minat milenial. 

"Pertama, dikembangkannya pertanian modern. Dengan teknologi mesin pengolah tanah, hingga mesin pemupukan dan mesin panen yang serba modern dengan menggunakan “remote control” sehingga tidak kotor. Kedua, perlu ada alternatif pertanian yang memberi pendapatan lebih, seperti hidroponik, aquaponik atau aquaculture. Ketiga, harus dapat memanfaatan pekarangan dan roof-top oleh petani muda seperti di Thailand”, ucapnya. 

Sementara itu, Guru besar Agribisnis Universitas Sriwijaya, Prof Fachrurrozie Sjarkowi menjelaskan, agripreneurship perlu diberi ruang yang lebih luas dalam aspek layanan pendidikan tinggi. Pemda juga didorong meningkatkan lingkungan wirausaha kondusif dengan ketersediaan responsif legalitas UMKM. "Landasan niaga yang aman, lugas, lancar dan maju juga perlu didorong. Sehingga kekhawatiran akan kehilangan petani di masa depan tak terjadi," bebernya. 

Lulusan University of Kentucky ini menerangkan, pertanian Indonesia membutuhkan milenial sebagai petani muda terdidik, penuh percaya diri, kreatif dan inovatif dalam merespon pasar tani dan berani menangkap peluang serta mampu mengelola resiko jadi untung di tengah persaingan pasar agribisnis global saat ini. 

"Mereka yang dengan gesit dapat mengolah ulu dan ilir pertanian kita. Oleh sebabnya, perlu dipikirkan oleh pengambil kebijakan daerah, termasuk perguruan tinggi dalam mendorong lahirnya para agri-preneurship ini ke depan. Sehingga pertanian kita makin kokoh dan tangguh," tandasnya.