Teror terhadap Majalah Tempo yang mengirimkan paket berisi kepala babi, bunga mawar, dan enam bangkai tikus telah memicu reaksi keras dari berbagai elemen pers di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan.
- Kenaikkan BBM Subsidi Bisa Picu Tambahan Inflasi Hingga 8 Persen
- KIB Didorong Usung Capres dari Ketum Masing-masing
- Banyak Caleg Bandel, Pelanggaran Pemasangan APK di Sumsel Capai 11.000 Lebih
Baca Juga
Sebagai bentuk respons terhadap serangan ini, berbagai organisasi pers, wartawan, dan aktivis membentuk Koalisi Pers dan Masyarakat Sipil Sumatera Selatan (KPMS Sumsel), yang mengecam segala bentuk teror dan intimidasi terhadap kebebasan pers.
Dalam diskusi terbatas yang digelar di Remington Hostel and Cafe, Palembang Kamis malam (27/03/25). Sejumlah
tokoh pers, pemilik media, dan aktivis bersuara keras menanggapi ancaman terhadap kebebasan pers. Acara ini turut dihadiri perwakilan dari Majalah Tempo di Sumatera Selatan.
Muhamad Nasir, yang juga penggagas KPMS Sumsel, menegaskan bahwa serangan terhadap Tempo bukan hanya menyerang satu media, tetapi juga merupakan ancaman sistematis yang mengarah pada pembungkaman kebebasan pers di tingkat nasional.
"Serangan terhadap Tempo ini bukanlah insiden biasa, tetapi bagian dari pola yang terus berulang. Jurnalis di Indonesia kini menghadapi ancaman yang semakin kompleks, dari kekerasan fisik hingga serangan digital dan kriminalisasi hukum," ujar Nasir.
Dalam diskusi tersebut, Nasir menyatakan bahwa lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu penyebab meningkatnya aksi kekerasan terhadap jurnalis. "Berapa banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang benar-benar ditindak? Jika ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin dekat dengan otoritarianisme," katanya.
Hal senada juga diungkapkan wartawan senior Taufik Wijaya, menurutya ancaman terhadap jurnalis tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga di tingkat lokal, seperti di Sumsel. Wartawan yang berani mengungkapkan fakta-fakta kritis kerap menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan.
"Jika pers dibungkam, maka masyarakat akan kehilangan hak untuk mendapatkan informasi yang jujur dan akurat. Ini bukan hanya soal jurnalis, tetapi soal masa depan demokrasi kita," ungkapnya.
Lebih lanjut, wartawan yang akrab disapa TW ini mencatat kemungkinan keterlibatan aktor-aktor tertentu dalam serangan terhadap Tempo. Mengingat salah satu media besar nasional ini sangat gencar mengkritisi dalam pemberitaan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam.
"Melihat dari pola aksi teror ini, sebenarnya aksi yang dilakukan melainkan bagian dari strategi yang lebih besar untuk membungkam kritik. Kami menduga ada pihak-pihak, pemilik modal yang terganggu dalam pemberitaan dilakukan oleh Tempo," jelasnya.
Sementara itu, Octaf Riyadi menilai ancaman terhadap kebebasan pers dapat berdampak luas, mempengaruhi iklim investasi, ekonomi, dan stabilitas sosial di Indonesia. Ketidakpastian hukum terhadap kebebasan pers, lanjutnya, hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, dia menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk melawan intimidasi adalah dengan terus menyuarakan kebenaran dan tidak takut menghadapi ancaman. "Pers tidak boleh takut! Justru, dalam situasi seperti ini, kita harus semakin solid dan berani. Jika kita mundur, maka mereka yang menang," tegas mantan Ketua PWI Sumsel itu.
Disisi lain, Octaf menyerukan kepada semua pihak yang tidak puas terhadap pemberitaan atau siapapun yang bersengketa dengan pers harus menyelesaikan dengan mekanisme hukum yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Pers ini berkerja sesuai diundang-undang, sudah seharusnya segala bentuk sengketa dalam pers atau seluruh elemn masyarakat yang tidak puas. Dapat menyelesaikan sengketa pers lewat mekanisme hukum yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers," pungkasnya.
Sebagai respons atas teror ini, KPMS Sumsel mengeluarkan tujuh poin tuntutan tegas: pertama menuntut pemerintah menjamin kebebasan pers sebagai hak konstitusional yang harus dilindungi dari segala bentuk intervensi politik, ancaman, dan kekerasan.
Kedua, mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus teror terhadap Tempo secara transparan dan profesional, serta mengungkap dalang intelektual di balik aksi intimidasi ini.
Ketiga, mendukung Tempo dan seluruh media untuk tetap menjalankan kerja jurnalistik secara profesional, independen, dan tanpa rasa takut. Media harus tetap berani mengungkap fakta demi kepentingan publik.
Keempat, menghimbau solidaritas jurnalis agar tetap teguh dalam menjalankan tugasnya, menjaga kode etik jurnalistik, serta saling melindungi dari ancaman kriminalisasi dan kekerasan, kelima mendorong penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme hukum yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penyelesaian sengketa tidak boleh dilakukan dengan cara-cara represif atau melalui tekanan kekerasan. Keenam, menuntut aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi terhadap jurnalis dan masyarakat sipil, termasuk penyalahgunaan pasal-pasal karet seperti UU ITE yang kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik. Dan ketujuh, menegaskan bahwa pers sebagai pilar demokrasi tidak boleh dilemahkan oleh pihak mana pun.