Musi Prima Coal, Dipusaran Sanksi Kementerian ESDM dan Kebutuhan Produksi Listrik GHEMMI

Aktivitas pertambangan di kawasan PT Musi Prima Coal yang masih beroperasi di tengah sanksi Kementerian ESDM. (rmolsumsel)
Aktivitas pertambangan di kawasan PT Musi Prima Coal yang masih beroperasi di tengah sanksi Kementerian ESDM. (rmolsumsel)

PT Guo Hua Energi Musi Makmur Indonesia (PT GHEMMI) yang mengelola produksi listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Mulut Tambang Gunung Raja, tetap berjalan normal.


Nah selama ini, PT GHEMMI sendiri telah berkontrak dengan PT Musi Prima Coal (PT MPC), untuk menyuplai sebanyak 2 juta ton batubara setiap tahun. Dari kontrak tersebut, PT MPC memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mengelola areal operasi produksi seluas lebih dari 4.400 hektar.

Kondisi Kerjasama ini tetap berjalan, meski PT MPC sendiri mendapat sanksi dari Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba, yang menyetop operasional PT MPC akibat terjadinya kecelakaan tambang beberapa waktu lalu.

Namun sanksi tersebut seolah tak berpengaruh dan PT MPC tetap melakukan aktivitas penambangan batubara, guna memenuhi target kepada PT GHEMMI.

Menurut perwakilan PT GHEMMI, Wang Suwandra, pihaknya tidak tahu persis mengenai sanksi itu. Sebaliknya, pihaknya tetap melakukan operasi produksi listrik untuk dialirkan ke seluruh Sumsel. 

"Belum ada info dari PT Musi Prima Coal (soal penutupan)," ujar dia, saat dikonfirmasi Kantor Berita RMOLSumsel, beberapa waktu lalu. 

Suwandra menilai, terkait permasalahan suplai batubara dari PT MPC untuk PT GHEMMI adalah domain dari bagian produksi. Sedangkan dirinya hanya bertugas di lingkup bisnis perusahaan, jadi tidak tahu persis terhadap semua hal itu. Makanya hingga saat ini PT GHEMMI tetap beroperasi normal. 

"Pembangkit kita masih normal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Palembang, Sumsel, dan kita suplai juga ke beberapa wilayah di Sumatera," jelas dia. 

Informasi yang dihimpun Kantor Berita RMOLSumsel, dari kontrak tersebut PT MPC akan dipaksa membayar lebih dari 50.000 dolar bila terjadi keterlambatan dalam satu jam, terhadap pengaruh proses suplai batubara itu. Artinya, akan ada denda yang harus dibayar sekitar lebih dari Rp700 juta per jam keterlambatan. 

Denda inilah yang disinyalir jadi alasan PT MPC abai pada sanksi yang diberikan Kementerian ESDM. Sebab sebelumnya, pada Sabtu (4/9) lalu, Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Lana saria sudah menegaskan, pihaknya menyetop operasional PT MPC dan semua yang terlibat di dalamnya setelah dilakukan investigasi kecelakaan tambang.

Penyetopan dilakukan sampai pihak perusahaan menjalankan rekomendasi dari Kementerian ESDM yang sesuai dengan Surat Edaran Kewajiban Perusahaan terkait Tindak Lanjut Kecelakaan Tambang Berakibat Mati yang dikeluarkan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM bernomor 06.E/37.04/DJB/2019.

Yakni evaluasi terhadap Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) PT Lematang Coal Lestari (PT LCL) yang pada saat kejadian bertanggung jawab terhadap aktifitas yang menewaskan korban Nurul Hidayat. 

Sebagai turunan dari evaluasi IUJP itu, ada juga rekomendasi untuk mengevaluasi Kepala Teknik Tambang (KTT) yang bertanggung jawab terhadap penerapan kaidah pertambangan yang baik sesuai Undang-Undang, di areal kecelakaan tersebut.

Rekomendasi juga berupa evaluasi terhadap peralatan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan hal terkait aktifitas pertambangan di areal tambang milik PT MPC tersebut.

Namun berdasarkan fakta di lapangan, PT MPC tetap beroperasi bahkan membiarkan aktivitas pertambangan dilakukan dengan resiko tinggi pada malam hari.

Hal ini terungkap dalam penelusuran yang dilakukan oleh Kantor Berita RMOLSumsel sejak beberapa hari terakhir. Sktivitas perusahaan tersebut tidak hanya berlangsung siang hingga sore hari, tetapi juga sampai malam hari, untuk mengeruk batubara di areal Tambang 1 yang berada di Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Kabupaten Muara Enim. 

Dari penelusuran ini, tim melihat jelas bagaimana puluhan truk pengangkut batubara masih beroperasi. Hanya saja pada malam hari, foto udara juga menunjukkan aktivitas penambangan berlangsung dalam kondisi minim cahaya.

Tidak banyak lampu yang ada di areal tambang. Penerangan hanya terdapat di areal yang dilakukan pengerukan dan pada kendaraan. Sedangkan sisanya, terlihat gelap, minim pencahayaan.

Suasana ini, kurang lebih sama dengan suasana kejadian saat tewasnya mandor tambang Nurul Hidayat pada Kamis (12/8) lalu. Ia tewas terlindas dalam kondisi lokasi Tambang 1 yang minim penerangan. 

Untuk diketahui, Nurul Hidayat disebut sebagai mandor tambang dan merupakan pegawai PT Nusa Indo Abadi (PT NIA) yang merupakan sub kontraktor PT Lematang Coal Lestari (PT LCL).

PT LCL merupakan pemegang Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dari PT Musi Prima Coal (PT MPC) yang menyuplai batubara untuk pembangkit listrik Mulut Tambang Gunung Raja yang dikelola oleh PT GHEMMI.