Menolak Disebut Tekor, Joncik Malah Beberkan Penyebab Defisit Keuangan Empat Lawang, FITRA: Apa Bedanya?

Mantan Bupati Empat Lawang, Joncik Muhammad/ist
Mantan Bupati Empat Lawang, Joncik Muhammad/ist

Bupati Empat Lawang periode 2018-2023 Joncik Muhammad menolak jika Kabupaten Empat Lawang disebut tekor karena mengalami defisit keuangan sampai Rp277 miliar.


Sebab menurutnya, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama adalah Dana Bagi Hasil (DBH) Tambahan sebesar Rp 50 miliar dan DBH Kurang Bayar sebesar Rp 68 miliar dari pemerintah pusat yang tidak disalurkan secara tunai ke Kas Daerah (Kasda) Pemda Empat Lawang, melainkan melalui Treasury Deposit Facility (TDF) sebesar Rp 85,856 miliar yang baru dapat dicairkan pada tahun 2024.

Lalu, pada tahun anggaran 2023, terdapat dana yang tidak terealisasi dari Pemprov Sumatera Selatan, seperti Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Bersifat Khusus, sebesar kurang lebih Rp 65 miliar.

"Dari total Rp 118 miliar DBH Tambahan dan DBH Kurang Bayar, sebesar Rp 85,856 miliar dijadikan TDF, dan sisa dana akan disesuaikan pada tahun 2024. Sementara untuk bantuan pemprov Sumsel akhirnya dibayar oleh pada tahun 2024 ini," jelasnya.

Sehingga menurut Joncik, total asumsi penerimaan daerah tahun 2023 yang tidak mencapai target adalah sebesar Rp 183 miliar, terdiri dari, DBH Tambahan dan DBH Kurang Bayar dari Pemerintah Pusat: Rp 118 miliar, Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Bersifat Khusus dari Pemprov Sumatera Selatan: Rp 65 miliar.

Dengan asumsi pendapatan daerah sebesar Rp 183 miliar, selisih defisit anggaran yang masih harus ditutupi adalah Rp 44 miliar (Rp 227 miliar - Rp 183 miliar) dan Defisit 44 M tersebut disebabkan target PAD pada tahun 2023 tdk tercapai” Jelasnya

Joncik juga menegaskan, bahwa bukan hanya Kabupaten Empat Lawang, tetapi juga banyak pemda yang juga bernasib sama, khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi paskacovid 19.

Artinya, Joncik mengklaim tidak ada masalah terkait di Kabupaten Empat Lawang di masa kepemimpinannya, yang dibuktikan dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dikeluarkan oleh BPK RI.

"Yang dikritik itu Hasil Laporan Keuangan yang sudah di audit BPK  jika bermasalah maka tidak mungkin BPK Berani mengeluarkan Opini Wajar Tanpa Pengeculian (WTP) untuk Kabupaten Empat Lawang," ungkap Ketua KAHMI Sumsel ini.

Kantor Pemkab Empat Lawang/ist

Opini WTP Belum Tentu Tanpa Masalah

Sebelum ini diberitakan, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI, Pemkab Empat Lawang tengah menghadapi persoalan serius mengenai keuangan daerah. Pasalnya dalam Laporan Keuangan Tahun 2023, APBD Pemkab Empat Lawang mengalami defisit riil sebesar Rp227.775.529.733.

Jumlah tersebut melebihi dari batas maksimal defisit seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 194/PMK.02/2022 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas Maksimal Kumulatif Pembayaran Utang Daerah Tahun Anggaran 2023.

Pj Bupati Empat Lawang, Fauzan Khoiri Denin sudah menjawab hal ini dengan mengungkap penyebab sampai upaya mengatasi kondisi tersebut.

Diantaranya, melakukan komunikasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan realisasi DBH tahun 2023. "Di awal tahun ini, kami juga melakukan rasionalisasi anggaran," ucapnya.

Sementara itu, Koordinator Fitra Sumsel, Nunik Handayani mengatakan penjelasan Joncik Muhammad terkait penyebab defisit keuangan Pemkab Empat Lawang hingga Rp277 miliar merupakan kurangnya kecakapan pemda dalam mengelola keuangan.

Dia menilai setiap daerah memiliki karakter pemimpin yang berbeda-beda. "Apapun penjelasannya terkait temuan BPK RI tersebut, intinya tetap tekor dan terjadinya defisit. Jadi apa bedanya?," jelasnya.

Menurut Nunik ada tiga kemungkinan PAD di Pemkab Empat Lawang tidak teralisasi. Pertama terjadi kebocoran pada proses pengelolaan pajak dan retribusi. Kedua, kurang maksimalnya pemda dalam penggalian PAD dan terlalu tinggi menentukan target PAD tanpa melihat kotensi dan kemampuan daerah.

"Dari tiga indikator tersebut yang mana menyebabkan terjadi defisit anggaran di Kabupaten Empat Lawang?. Apapun penjelasannya tetap sama saja intinya defisit," tegasnya.

Selain itu Nunik juga menyoroti opini WTP dari BPK, dia mengatakan opini tersebut tidak serta-merta menjamin bahwa tata kelola keuangan di daerah tersebut betul-betul bersih 100 persen.

"Untuk dapat dipercaya sepenuhnya, diperlukan audit menyeluruh. Bukan berarti opini WTP itu menjamin bahwa pemerintah daerah bebas dari tindak korupsi. Masih banyak permasalahan yang terjadi meskipun telah mendapatkan WTP," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan setiap temuan BPK perlu tindakan tegas agar efek jera terhadap pelanggaran keuangan lebih kuat.

"Kalau tidak ada efek jeranya, tiap tahun ini akan terjadi lagi. Bahkan bisa lebih parah temuannya. Itulah pentingnya kita mengawal proses tindak lanjut terhadap laporan keuangan ini. Masyarakat dan media diharapkan dapat memantau dengan cermat agar ada tindakan yang efektif terhadap temuan-temuan ini," tandasnya.

Pengamat Politik Ade Indra Chaniago/Dokumen RMOL

Kenapa Joncik Sensitif dengan Hasil Audit BPK?

Sementara itu, Pengamat Politik Sumsel Ade Indra Chaniago ikut menyoroti hasil audit BPK. Dia menilai temuan yang menunjukan ketidaksesuaian atau penyimpangan tersebut, mencerminkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan Joncik.

"Artinya dia memang tidak memiliki kemapuan manajerial. Wajar saja jika dia sangat sensitif dengan hasil audit BPK ini," katanya.

Lebih lanjut Ade menjelaskan, dalam temuan tersebut dia menilai reputasi dan kredibilitas Joncik dalam memimpin pemerintahan daerah dinilai tidak capak dan seperti mengurus rumah tangga.

"Inilah resiko ketika dipimpin orang yang kurang kompeten, buktinya mengelola pemerintah daerah seperti mengelola rumah tangga. Dari temuan BPK itu banyak sekali perundang-undangan yang dilanggar saat dia menjabat Bupati Empat Lawang, padahal mengurus pemerintahan daerah itu bukan seperti mengurus rumah tangga," jelasnya.

Akademisi STISIPOL Candradimuka ini juga menilai adanya politisasi yang dilakukan Joncik untuk merawat kekuasaanya namun mengabaikan aturan yang ada.

"Maksudnya memang untuk memuaskan rakyat tapi dia sendiri lupa ada aturan yang dia langgar. Tidak bisa mengurus pemerintahan ini seperti mengurus rumah tangga. Mengelola pemerintahan itu tidak bisa sesuai taste, butuh manajerial yang baik sehingga menghasilkan policy yang berdampak positif bagi rakyat untuk kemajuan daerah yang dipimpinnya dan tentunya sesuai dengan aturan bukan asal orang senang," pungkasnya. (*Tim)