Menikmati Banjir Warisan Rezim, Mencari Pemimpin Palembang yang Berwawasan Lingkungan

Alat peraga kampanye calon Wali Kota Palembang yang terpasang di pepohonan.  (ist/rmolsumsel.id)
Alat peraga kampanye calon Wali Kota Palembang yang terpasang di pepohonan. (ist/rmolsumsel.id)

Hujan deras disertai angin kencang terjadi di kota Palembang, Senin (18/11) siang hingga petang. Banjir pun menggenangi sejumlah kawasan yang kembali dikeluhkan oleh warga.


Tak lama berselang, foto dan video kejadian banjir itupun memenuhi lini masa sosial media akun-akun publik. Keluhan demi keluhan disampaikan oleh warganet. Tak sedikit yang mengaitkannya dengan kontestasi pilkada yang saat ini prosesnya sedang berlangsung. 

"PR Camat,Lurah, Rw sm Rt dan utk Calon Gubernur & Calon Walikota. Soal banjir & jln byk Rusak setiap hujan turun deras selalu banjir, penyebab nya drainase /got kurang lebar & kedalaman. Tpi Bukan perbaikan dgn ngecor yg tinggi2 tdk akan membuat berkurang banjir.Tetapi hrs dipelajari dl alir mengalir smpe sejauh mn. Ada ngak area kolam penampung air tsb." tulis @thamrin_lie di salah satu postingan terkait banjir tersebut. 

Tangkapan layar postingan banjir di salah satu admin media sosial. (handout/rmolsumsel.id) 

Ada pula warganet yang secara sarkas memberikan sindiran kepada para calon pemimpin kota Palembang yang kini tengah berupaya merebut suara rakyat, jelang pencoblosan 27 November mendatang. "Cari la Muko nah yg nak nyalon mumpung msh kelebu Banjer nih," ujar warganet dengan akun @agus_darus dalam postingan lainnya. 

Banjir kota Palembang bukan hal baru, melainkan telah menjadi saksi sejarah perkembangan kota ini dari masa penjajahan. Hal ini diungkapkan oleh sejarawan Universitas Sriwijaya (Unsri) Dedi Irwanto yang pernah dibincangi oleh Kantor Berita RMOLSumsel. Menurutnya, dalam kajian sejarah, kota Palembang adalah kota air yang hampir semua wilayahnya sedikit sekali memiliki daratan. Sementara daratan yang ada, biasanya berbentuk delta-delta atau daerah perbukitan seperti salah satu contohnya Bukit Seguntang. 

"Selebihnya delta-delta atau pulau yang dikelilingi air  tapi pulau itu juga ada siklusnya, artinya ketika musim pasang datang pulau-pulau itu tergenang air juga, kecuali musim surut meninggalkan tanah berlumpur, kondisi ini sudah bertahan lama, sejak dari masa lampau hingga masa kolonial Belanda," katanya.

Tangkapan layar postingan banjir di salah satu admin media sosial. (handout/rmolsumsel.id) 

Lalu menurutnya di masa kolonial Belanda di Palembang dibuat kebijakan dalam membangun Palembang dengan menimbun daerah-daerah yang tergenang  dimana delta-delta tadi dihubungkan satu sama lain kemudian ditinggikan menjadi jalan daratan.

"Tetapi kebijakan pemerintah kolonial Belanda itu kan juga memikirkan dampak lingkungannya, artinya ketika menimbun daratan mereka membangun saluran irigasi atau DAM atau sungai di DAM airnya mengalir dengan baik dan dirawat. Tapi kebijakan pemerintah kolonial Belanda itu tidak diteruskan hingga masa kini, boleh di katakan hingga masa kini kota Palembang terus ditimbun hingga ke rawa-rawa untuk membuat perumahan. Akibatnya resapan airnya kurang baik tanpa saluran air yang jelas kemana air mengalir," katanya.

Puluhan tahun berselang, anak sungai di Palembang terus menghilang seiring pesatnya pembangunan. Sungai musi yang menjadi urat nadi perekonomian kota Palembang juga sudah lama tidak dikeruk, sementara kolam retensi sudah tidak lagi memiliki kemampuan maksimal untuk menampung air. Lemahnya penanganan banjir yang dilakukan oleh Pemkot Palembang mencapai puncaknya saat Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kelas 1 Palembang, mengabulkan gugatan yang dilayangkan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan warga korban banjir pada 25 Desember 2021 terhadap Pemerintah Kota Palembang.

Banjir di salah satu titik Kota Palembang. (fauzi/rmolsumsel.id) 

Calon Wali Kota Tak Punya Terobosan Atasi Banjir

Koordinator Perkumpulan Rawang, Hairul Sobri mengatakan, komitmen pemerintah kota (Pemkot) Palembang terhadap permasalahan banjir di wilayahnya dinilai masih kurang. Hal itu terlihat dari masifnya peralihan fungsi kawasan rawa di Kota Palembang menjadi perumahan.

"Selagi pemerintah masih memberikan perizinan pembangunan perumahan di kawasan rawa, permasalahan banjir di Palembang ini tidak akan pernah selesai. Bisa dikatakan pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen kuat untuk mengatasi banjir," kata Hairul saat dibincangi. 

Kondisi itu semakin diperparah dengan rencana pemerintah yang akan membangun Kawasan Perkantoran Terpadu Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati, Palembang. Kawasan rawa yang seharusnya diperuntukkan untuk rawa budidaya akan disulap menjadi gedung perkantoran. 

"Dari situ saja, pemerintah tidak konsisten terhadap rencana tata ruang wilayah yang dimilikinya. Seenaknya mengubah tata ruang hanya demi kepentingan pebisnis. Sebelumnya juga kan sudah ada yang diubah tata ruangnya seperti kawasan PSCC yang berubah jadi mall dan beberapa kawasan lain tengah kota yang pada akhirnya saat ini menjadi sumber banjir," bebernya. 

Sementara terkait janji manis tiga calon Wali Kota Palembang terhadap penanganan banjir, Hairul sendiri tidak melihat terobosan atas berbagai ide atau gagasan yang ditawarkan saat Debat beberapa waktu lalu. Ketiga calon menawarkan ide yang sudah usang yang memang sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk dijalankan. Tetapi selama ini tidak pernah terealisasi. 

"Ada janji memperbanyak kolam retensi, menormalisasi anak sungai dan memperluas ruang terbuka hijau. Konsep-konsep ini kan sebenarnya telah tertuang dalam Perda yang harusnya direalisasikan. Sehingga, kami tidak melihat terobosan gagasan dari para calon," ucapnya. 

Kewajiban itu juga, kata Hairul sudah dikuatkan oleh Pengadilan yang memenangkan gugatan Class Action WALHI Sumsel beberapa waktu lalu. "Artinya siapapun nanti yang memimpin, hal ini wajib direalisasikan. Bukan sebagai terobosan si pemimpin daerah," tegasnya.

Dia mengatakan, jika memang calon Wali Kota Palembang ingin serius menangani banjir, sejak awal mereka seharusnya berjanji untuk menertibkan bangunan-bangunan megah yang berdiri di sepanjang bantaran sungai. "Penertiban mall, hotel ataupun bangunan megah lainnya yang menyalahi tata ruang harusnya ditertibkan. Kalau memang ada komitmen kuat. Berani tidak mereka. Sepanjang ini tidak ditertibkan, ya pengentasan banjir hanya jadi omong kosong yang muncul setiap Pilkada berlangsung," tegasnya. 

Senada, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Bagindo Togar mengatakan ketiga kandidat pasangan calon (paslon) walikota Palembang saat ini Fitrianti-Nandriani, Ratu Dewa- Prima Salam dan Yudha Pratmomo-Baharuddin dinilai tak memiliki strategi atau formula khusus untuk menyelesaikan banjir di Palembang.

Padahal masalah banjir, bukanlah hal yang baru dialami masyarakat kota Palembang. Namun dirinya menyayangkan dari ketiga kandidat paslon tak memberikan garansi akan mampu mengatasi permasalahan ini.

"Tidak ada langkah konkret dari ketiga paslon ini untuk mengatasi banjir di Palembang. Formulanya seperti apa untuk mengatasi banjir ini kita tidak tahu, jadi jangan berharap ketiga kandidat ini bisa mengatasi banjir ketika salah satu dari mereka terpilih," kata Bagindo dihubungi, Selasa (19/11).

Lebih lanjut Bagindo mengatakan permasalahan banjir di Palembang selama ini hanya menjadi komoditas kampanye bagi ketiga kandidat tersebut. 

"Intinya mereka ini tidak serius membenahi Palembang ini. Tapi kenyataannya banjir ini hanya dijadikan komoditas mereka saja untuk mencari simpati masyarakat. Tidak ada dari ketiga kandidat ini yang all out ingin membenahi Palembang ini terutama masalah banjir," tegasnya.

Bagindo mengungkapkan, permasalahan banjir di Palembang sudah seolah menjadi even tahunan yang selalu dihadapi masyarakat. Padahal dia menilai, Palembang yang dikenal sebagai kota tertua di Indonesia ini dinilai tidak layak banjir.

"Palembang itu kota yang tidak layak banjir kalau ditinjau dari topografi. Bahkan sungai kita banyak tapi kenapa banjir ini seperti menjadi even tahunan. Karena ada yang salah dalam penataan kota, drainase yang semakin menyempit, tata ruang dan lainnya. Tapi tidak ada dari ketiga kandidat ini yang berani dan jujur mengatasi permasalahan ini," jelasnya.

Selain itu, Bagindo juga menyinggung kapabilitas dari ketiga paslon yang tidak memiliki wawasan lingkungan. Bahkan Fitrianti dan Ratu Dewa yang dianggap warisan rezim pun tak mampu membenahi masalah banjir ketika mereka menduduki jabatan penting di pemerintahan sebelumnya.

Sementara, Yudha Pratomo yang dinilai belum memiliki pengalaman hanya mengandalkan konsep dan teori. "Makanya dari ketiga kandidat ini tidak ada yang berani menyatakan drainase di Palembang terparah di Indonesia. Tidak ada dari mereka ini yang berani all out untuk menyelesaikan banjir ini," pungkasnya.