Beberapa hari lalu, aparat Polda Sumsel melakukan gelar perkara pengangkutan batubara dari aktivitas penambangan ilegal di kawasan Tanjung Enim, Muara Enim.
- Polda Sumsel Tangkap Sopir Pengangkut Batubara Ilegal dari Hasil Pertambangan di Muara Enim
- Konsisten Tindak Pertambangan Ilegal, Polres Muara Enim Amankan Tiga Kendaraan dan 100 Ton Batubara
- Lagi, Fuso Muatan 35 Ton Batubara Ilegal Tertangkap di Muara Enim
Baca Juga
Batubara dengan kualitas tinggi itu, diangkut lewat jalur darat menggunakan sejumlah truk untuk kemudian dikirim lewat pelabuhan di Lampung yang disinyalir diperjualbelikan baik untuk kebutuhan nasional bahkan ekspor tanpa sepeserpun masuk ke kantong negara.
Menurut keterangan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Kombes Pol Agung Marlianto Basuki, dalam gelar ungkap perkara Senin (20/2) pekan lalu, pihaknya kini tengah mengejar para cukong.
Sebab, dari penangkapan yang dilakukan di jalan Lintas Sumatera desa Batu Kuning, Kecamatan Baturaja Barat, Kabupaten OKU pada 15 dan 17 Februari 2023, pihaknya hanya mengamankan sopir, truk dan 98 ton batubara.
"Kami masih memburu pemilik tambang batubara ilegal yang identitasnya sudah kami kantongi,"kata Agung kepada awak media saat itu.

Batubara Ilegal Sejak Proses Produksi
Dalam penelusuran kantor berita RMOLSumsel, tidak hanya proses penjualannya yang dikategorikan ilegal, tidak masuk kantong negara.
Akan tetapi proses menyalahi aturan hukum dan perundang-undangan ini bahkan telah dimulai sejak batu keluar dari perut bumi.
Bahkan batubara ini juga diketahui tidak hanya berasal dari kawasan Muara Enim, tetapi juga Kabupaten Lahat yang memang sudah dikenal sebagai daerah produsen batubara terbaik di Sumsel.
Berbagai modus juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini dalam melakukan aktivitas ilegal produksi sampai pengangkutan batubara.
Seperti salah satunya yang sempat diungkap oleh Kantor Berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/surat-persetujuan-rkab-putra-hulu-lematang-ternyata-milik-sriwijaya-bara-priharum)
Sebuah perusahaan batubara, PT Putra Hulu Lematang (PHL) yang beroperasi di Pagar Agung, Kecamatan Lahat, Kabupaten Lahat masih melakukan aktivitas penambangan meski izinnya dicabut oleh Presiden Jokowi di awal 2022 lalu.
Bahkan hingga 2023 ini, izin operasi perusahaan tersebut masih belum keluar, meskipun proses produksi di areal IUP perusahaan tersebut disebut masih berlangsung.
Lantas, apabila perusahaan tetap berporduksi tanpa memiliki izin, tentunya perusahaan tersebut juga tidak bisa menjual batubara secara resmi. Kemana batubara yang dihasilkan itu dijual?
Tak lama setelah informasi mengenai perusahaan yang masih berproduksi di tengah pencabutan IUP itu ramai, beredar dokumen persetujuan RKAB PT Putra Hulu Lematang yang ditandatangani oleh Dirjen Minerba untuk tahun 2022.
Dokumen inilah yang diduga diklaim Kepala Teknik Tambang (KTT) PHL, Al Haikal sebagai izin aktivitas produksinya, selain mengatakan telah berkoordinasi dengan Bupati Lahat dan Kordinator Inspektur Tambang Sumsel.
Namun, jawaban KTT tersebut buru-buru dibantah oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Dirjen Minerba Sunindyo Surryo Herdadi. Kepada Kantor Berita RMOLSumsel, dia menyebut dokumen itu palsu.
Apalagi saat ditelusuri, scan barcode yang muncul dalam dokumen persetujuan untuk Putra Hulu Lematang itu justru mengarah ke PT Sriwijaya Bara Priharum, yang pada bagian lain diketahui sebagai perusahaan pelanggar lingkungan. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/gubernur-sumsel-resmi-surati-pusat-cabut-properti-biru-bara-alam-utama-dan-sriwijaya-bara-priharum-tinggal-dugaan-mafia-tambang-lematang-coal-lestari).

Dari Pemalsuan Dokumen Sampai Kongkalikong dengan Regulator
Dugaan upaya memalsukan dokumen seperti yang terjadi pada PT PHL di Lahat itu, merupakan salah satu upaya dari perusahaan-perusahaan ini melakukan penjualan batubara secara ilegal.
Atau dengan kata lain seperti yang dimaksud oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Kombes Pol Agung Marlianto Basuki, sebagai upaya cukong untuk meraup keuntungan secara ilegal dengan merugikan negara.
Dalam kasus yang sedang ditanganinya, batubara tersebut diangkut dari tambang rakyak, yang memang sudah lama beroperasi.
Namun demikian, keuntungan yang signifikan dari produksi sampai penjualan batubara ilegal ini juga disinyalir melibatkan korporasi besar dengan modus yang beragam tadi.
Dengan ikut menjual batubara secara ilegal, korporasi dapat menghindari tanggung jawab kepada negara melalui skema bagi hasil yang telah ditetapkan dalam dokumen pengajuan seperti RKAB.
Sayangnya, regulator dalam hal ini Kordinator Inspektur Tambang Sumsel yang berada di bawah Dirjen Minerba terkesan diam dan dalam beberapa kasus dituding terlibat.
Diantara yang terungkap, pada Agustus 2022 lalu adalah penjualan batubara ilegal yang dilakukan oleh PT Batubara Lahat (BL). Perusahaan ini dianggap telah merugikan investor dan mendapat sorotan pada saat itu.
Bergeser dari Lahat ke kawasan Tanjung Enim (Muara Enim), disini terdapat banyak tambang rakyat yang disinyalir menjadi sumber cuan bagi cukong penjualan batubara ilegal.
Dalam sebuah diskusi di akhir 2022 lalu, Gubernur Sumsel Herman Deru bahkan menyebut tambang rakyat ini muncul seperti jamur di musim penghujan.
Oleh sebab itu, perlu ada regulasi yang jelas mengatur hal ini agar kemudian tambang rakyat ini menjadi legal dan menjadi pemasukkan bagi masyarakat dan Sumsel.
Pada 2022, Dirjen Minerba Kementerian ESDM mencatat setidaknya ada 2.471 tambang ilegal yang ada di Sumsel dan Kalimantan Timur.
Kepada awak media, pada akhir 2022 lalu, Plh Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite bahkan mengesankan tambang ilegal ataupun tambang rakyat ini sangat menggiurkan, memiliki beking yang kuat.
"Banyak sosok mengerikan di republik ini," katanya. Tidak diketahui mengarah kemana istilah ini, namun menurut Idris diperlukan sinergitas dan langkah konkrit untuk mengatasi ini.
Dilansir dari RMOL.ID, Kementerian ESDM berencana membuat struktur baru yang sifatnya sebagai unit hukum untuk melakukan penindakan dalam aktivitas tambang yang terbukti melakukan penyimpangan.
Sayangnya, celah bagi regulator untuk ikut bermain dalam proses pertambangan ilegal ini cukup terbuka. Seperti misalnya mengetahui atau kordinasi, tidak melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan, dan lain sebagainya.
Utamanya pula yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang selama ini kerap didengungkan oleh aktivis lingkungan di Sumsel. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/aktivis-kawali-sumsel-desak-kementerian-esdm-pecat-kordinator-inspektur-tambang-penempatan-sumsel-ini-alasannya).
- Anggota DPRD Sumsel Desak Gubernur Alokasikan Lagi Bantuan Stek Kopi untuk Petani
- Gubernur Herman Deru Minta Pembangunan Stasiun Pengendali Banjir di Sungai Buah Dipercepat
- Bupati Ogan Ilir Ajukan Bangubsus Rp55,5 Miliar, Gubernur Sumsel Soroti Infrastruktur Rawa