Penggerak utama gerakan komunis di Kota Palembang adalah Raden Hasannusi. Dia mampu menandingi koleganya yang berpropaganda di Muara Enim.
- Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN KETIGA]
- Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN PERTAMA]
Baca Juga
Sebenarnya Hasannusi merupakan simpatisan Sarekat Islam berhaluan keras. Hubungan dengan kelompok Islam yang dijalin sebelumnya tidak pernah dilepaskannya setelah bergabung dengan PKI.
Hal ini terlihat dari keikutsertaannya dalam pembentukan Comite akan Perlindoengan Agama Islam (CAPAI), sebuah komite yang dibentuk oleh kelompok modernis 'Kaum Muda' pada 1926.
Komite tersebut merupakan reaksi terhadap isu korupsi yang melanda lingkungan penghulu Masjid Agung warisan Kesultanan Palembang di Kota Palembang.
Masjid ini sendiri sejak awal dikelola oleh kelompok ortodoks (Kaum Tua) yang didukung penuh pemerintah kolonial. Keterlibatan Hasannusi bukan hanya itu.
Hasannusi memprakarsai pembentukan Perserikatan Kaoem Boeroeh (PKB) pada 1926, sebagai wadah dari berbagai organisasi buruh yang berdiri sebelumnya seperti, Perhimpoenan Chauffeur Palembang, Perserikatan Beambten Spoor en Tram (BBST), Persatoean Boeroeh Pelaboehan, dan lain-lain.
Pemimpin PKB adalah Kwee Tjing Hong. Sementara propagandis di lingkaran buruh-buruh kereta api dan pelabuhan adalah Abdul Muluk, tokoh PKI Sumatera Barat, dan Raden Ahmad (Pak Amat) yang berasal dari Jawa.
Pertja Selatan (Koran berideologi anti Kolonial) memberitakan berdirinya PKB dan memuat iklan pendaftaran bagi mereka yang berminat masuk menjadi anggota.
Mereka dijanjikan akan diberi perlindungan dari sikap sewenang-wenang majikan. Setelah pemuatan iklan tersebut setidak-tidaknya 400 orang mendaftarkan diri masuk menjadi anggota PKB.
Hasannusi juga mempunyai pengaruh cukup kuat di dalam tubuh Perhimpoenan Chauffeur Palembang dan Perserikatan Kaoem Tani (PKT), organ-organ PKB yang berdiri sejak 1925.
PKT khususnya digunakan untuk menggalang massa petani perdesaan dan cabangnya di daerah Komering dipimpin oleh Burniat.
Propaganda yang dilancarkan dan aksi boikot yang dijalankan di lingkaran buruh tambang batu bara Tanjung Enim dan Pasar Lahat, melalui koran Boemi Melajoe dan mingguan Djam yang diasuh Sutan Saiful Manan (propagandis dari Sumatera Barat), menyebabkan sejumlah tokoh komunis ditangkap sebelum meletus pemberontakan 1926-1927.
Boemi Melajoe dan Djam serta surat kabar Kemoedi yang diasuh Ali Gathmyr simpatisan SI turut diberangus. Hasannusi juga ikut ditangkap. Sementara Mas Arga mampu muncul kembali dengan membentuk badan kepanduan De Nationaal Padvindersorganitatie (NPO) di lingkungan anak sekolah Kota Palembang.
Partai Komunis Indonesia daerah Palembang mengalami nasib hampir serupa dengan SI, khususnya setelah pemberontakan 1926-1927. Beberapa pemimpinnya ditangkap dan dihukum penjara. Sebagian lagi, termasuk Hasannusi, dibuang ke Digul.
Berbeda dengan SI yang lebih banyak meluaskan jaringan di lingkaran petani perdesaan, PKI mengembangkan pengaruh utama di lingkungan buruh kota yang relatif terorganisasi sebelum akhirnya dipatahkan penguasa kolonial.
Partai Nasional Indonesia (PNI) hadir mengisi panggung pergerakan yang ditinggalkan SI dan PKI. Keberadaan PNI di daerah Palembang dapat dikaitkan dengan peran Mr. Budiarto.
Advokat dari Bandung ini tiba di Kota Palembang pertengahan 1927 menggantikan posisi Mr. A.A. Maramis, koleganya yang tengah cuti tiga bulan dari tugas advocaat dan procureur di kota ini.
Selaku “komisaris” PNI (semula Perserikatan Nasional Indonesia yang berdiri di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927), Budiarto mencoba mendirikan cabang partai ini di Kota Palembang.
Dia menjalin persahabatan dengan Samidin, salah seorang tokoh asal Palembang yang bekerja sebagai kerani perusahaan Nederlandsche Rubber Unie.
Pada mulanya PNI Palembang yang kemudian tumbuh menjadi salah satu cabang PNI terkuat di luar Jawa, sulit merekrut anggota, Terlebih lagi tindakan represif pemerintah kolonial terhadap Pemberontakan 1926-1927 membuat kebanyakan orang semakin enggan masuk partai politik.
Saat pemimpin PKI Musso datang kembali ke Indonesia tahun 1935, saat itulah gerakan Komunis didaerah Sumatera Selatan mulai dikonsolidasi dan bekerja secara ilegal (bawah tanah).
Beberapa pendukung aliran komunis daerah menggabungkan diri dengan Gerindo yang kemudian dapat meluas didaerah Sumatera Selatan, (terutama didaerah terutama pertanian, perburuhan dan lain).
Pada tahun 1945 - 1946, yaitu saat awal revolusi Indonesia, didaerah Lintang Empat Lawang (Pendopo - Tebing Tinggi), yaitu didusun Sadan, lahirlah satu gerakan rakyat yang menamakan dirinya PKI. dibawah pimpinan Zen Sanibar.
Gerakan ini mendapat pengikut yang agak luas disekitar daerah Tebing Tinggi. Tetapi gerakan ini rupanya bukan bermaksud untuk membantu meneruskan perjuangan kemerdekaan.
Tapi mempunyai maksud lain. Oleh karena itu Pemerintah Daerah mengambil tindakan dan menangkap para pemimpin-pemimpinnya, yang kemudian dapat dipatahkan sama sekali.
Setelah terjadi peleburan dari Partai Sosialis ke PKI, mulailah disaat itu PKI Sumatera Selatan mengadakan perjuangan secara nyata.
Apalagi setelah berakhirnya Kongres Pesindo ke III di Jakarta yang melahirkan Pemuda Rakyat pada bulan November 1950, PKI di Sumatera Selatan mulai dapat menghimpun tenaga baru, disamping kader partai yang selama ini sudah memimpin partai.
Pada tanggal 3 sampai tanggal 5 Maret 1951 bertempat di kota Palembang telah diadakan suatu konperensi PKI Sumatera Selatan dengan mendapat kunjungan dari utusan CC PKI: B.O. Hutapea dan P. Pardede, dihadiri oleh cabang partai yang ada di daerah Sumatera Selatan.
Konferensi mempelajari soal perjuangan partai dan soal organisasi. Pada saat itulah diselaraskan bentuk organisasinya menurut apa yang ada sekarang sebagai berikut: PKI. Sumatera Selatan berbentuk sebagai Komisariat CC PKI, meliputi seluruh daerah dengan dibagi dalam Seksi Comite (SC) Palembang, Lahat, Lampung, Lubuklinggau, Jambi dan persiapan SC Bangka.
Ditiap Kabupaten berdiri Onder Seksi Comite (OSC) dan R.C. (Ressort ) berdiri di Marga, Kecamatan, daerah perburuhan dan lain-lain. Berapa banyak jumlah anggotanya, tidak didapat angka yang tepat.

Pulau Kemaro dan Kamp Tahanan PKI
Pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) berkuasa, sejak ditetapkannya sebuah kebijakan untuk menumpas habis PKI hingga ke akar-akarnya, sejak itu pula Pulau Kemaro atau Pulau Kemarau dijadikan salah satu tempat untuk mengasingkan tahanan politik yang dianggap terlibat (baca juga : https://www.rmolsumsel.id/kisah-benteng-tameng-ratu-di-pulau-kemaro-bagian-akhir).
Anggota, pengurus, simpatisan, hingga organisasi-organisasi dibawah Partai Komunis Indonesia (PKI) ditahan di lokasi ini, yang antara tahun 1965-1967 dijadikan sebagai kamp tahanan.
Di kamp ini telah terjadi serangkaian peristiwa mengenaskan yang banyak menewaskan para tapol (tahanan politik). Namun fungsi sebagai kamp tersebut kemudian hilang di akhir tahun 1967 dan berganti fungsi baru.
Dipilihnya Pulau Kemarau sebagai tempat tahanan karena dinilai strategis mengingat lokasi pulau yang berada ditengah Sungai Musi yang sulit diakses dan jauh dari keramaian.
Pada periode ini, Pulau Kemarau dinilai sebagai masyarakat Palembang sebagai pulau maut karena dapat dipastikan bagi siapapun yang masuk kedalam pulau ini tidak akan pernah selamat.
Sejumlah kesaksian muncul disaat Pulau Kemarau ini menjadi kamp tahanan, kengerian, kematian, penyiksaan, dan kelaparan bercampur menjadi satu, serta menjadi saksi sejarah betapa di masa itu nilai-nilai kemanusiaan bangsa ini menjadi hilang, semuanya hilang dalam perjalanan zaman.
Malam tanggal 13 Oktober 1965 dilakukan penangkapan umum terhadap orang-orang komunis dan simpatisannya oleh alat negara dipimpin Komandan CPM Let. Kol. Loho seperti yang dilakukan di wilayah-wilayah lain diseluruh Indonesia.
Kemudian masyarakat dikejutkan dengan banyaknya mayat terapung di Sungai Musi, yang berlangsung hampir beberapa tahun.
“Sebagai seorang muslim, hatiku tergoncang melihat kenyataan ini. Agama Islam yang aku anut, tidak membolehkan pembunuhan di luar hukum. Tidak mengenal kekejaman dan kebuasan. Hatiku tergugah karena Hukum Syara' tidak membenarkan membunuh orang tanpa dalil dan tanpa sebab yang relevan, dan terbukti. Agama Islam mewajibkan mengurus mayat itu untuk dikuburkan, dan jika dia itu Islam wajib dikafani, dimandikan dan dikuburkan. Tidak boleh dibuang begitu saja. Apalagi di buang di sungai Musi, yang airnya diminum dan menjadi satu-satunya sumber air di Palembang, sehingga terjadi pencemaran karena mayat manusia. Beberapa bulan orang tidak mau makan udang dan ikan tangkapan di sungai Musi, karena pernah terdapat kuku manusia di dalam perut ikan.."
Demikian catatan dari Prof Dr H Mochtar Effendy SE yang dia tulis dalam bukunya Perjuangan Mencari Ridha Tuhan, Catatan Tiga Zaman dari Bilik Terali Penjara Rezim Tirani Soeharto, Unsri Press, 2002 (Sketsa Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Selatan).
Mochtar Effendy melanjutkan kisahnya: “Didalam kedudukan sebagai Inspektur Kodam IV, sebagai Muslim, sebagai Perwira yang Tagwa kepada Tuhan, aku tanyakan perihal pembunuhan ribuan manusia tanpa proses hukum negara, tanpa haq menurut Hukum Islam itu, kemudian mereka dibuang begitu saja di sungai tidak di urus menurut syariat Islam atau cara-cara agama Kristen atau Katolik. Saya tanya melalui Kasdam, sebab beliau aku hormati integritasnya, dia cukup mafhum mengenai hukum Islam. Saya bilangkan kenapa tidak dilakukan menurut hukum yang ada, dan kenapa tidak dikubur menurut syariat, menurut adat, menurut Pancasila? Tulis Mochtar Effendy dalam buku tersebut.
Mochtar Effendy lalu mengambil risiko menanyakan hal itu, karena memperingatkan kebatilan, kemungkaran itu adalah fardhu kifayah. Berdosa semua ummat Islam diwilayah ini jika tidak ada yang berani memperingatkan yang hak, keadilan dan kebenaran.
Aku mau mempertanyakan hal itu kepada LetKol. Loho yang memimpin pembantaian itu, tetapi dia justru memperlihatkan permusuhan kepadaku, dan bahkan secara sinis, sebenarnya menghendaki penangkapan diriku. Dia (Letkol) Koho dengan beberapa perwira dan politikus profiters, menghendaki diriku disingkirkan.
Kepada seorang Pamen CPM yang menjadi wakil Komandan CPM, Mochtar mengenalnya baik sebagai seorang intelektual: “Mayor, (Agus Suwardi)! Aku mendengar banyak mayat di sungai Musi, itu siapa yang melakukannya? Kalau itu dilakukan oleh alat negara, supaya dikuburkan baik-baik, sebab agama, kemanusiaan, dan kesehatan rakyat tidak mengizinkan berbuat begitu. Tetapi jika dilakukan oleh rakyat supaya dicegah, kita tidak boleh meniru kebiadaban yang telah berlaku sebelumnya”.
"Itu secara tegas aku katakan kepada Mayor Agus Suwardi,” kata Mochtar Effendy.
Komandan itu seorang mahasiswa doktoral Hukum. Dia diam tidak memberikan jawaban dan menghindarkan pemberian jawaban.
“Aku mengerti hati muraninya (gewetan) juga tidak setuju, tetapi itu adalah keadaan dimana tidak seorangpun bisa bicara”. Aku maklum semua orang di dalam ketakutan. Tetapi aku telah sampaikan hal itu pada pejabat yang berwenang. Tugasku sebagai muslim sudah selesai. Akhirnya aku ketahui bahwa perbuatan itu dilakukan CPM sendiri dipimpin langsung oleh LetKol. Loho. Aku tidak habis heran panglima yang notabene orang beragama Islam yang juga putra daerah, tidak mentertibkannya. Padahal bertentangan dengan hukum apapun di dunia. Kenapa kita berbuat lebih buas dan lebih biadab dari Komunis yang kita basmi itu? tanyanya.
Panglima sendiri menurutnya seakan-akan menyetujui perbuatan itu. Ya, apa boleh buat. Dirinya sekarang dalam keadaan sendirian.......
Pengakuan lain datang dari Bejo Untung selaku Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, dilansir Kompas.com mengatakan, bahwa dirinya memiliki data valid mengenai lokasi kuburan massal korban kekerasan Tragedi 1965.
Berdasarkan data yang berhasil dia himpun, terungkap adanya peristiwa pembunuhan hampir di seluruh Indonesia terhadap tahanan politik PKI ataupun orang-orang yang dituduh memiliki paham komunis.
"Kami punya data valid mengenai lokasi kuburan massal 1965 dari semua daerah di Indonesia, data tersebut diteliti oleh teman-teman bekas tahanan politik yang tinggal di daerah," kata Bejo.
Menurut Bejo, ada tiga pulau yang diidentifikasi terdapat titik kuburan massal terbesar, yakni Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Bali.
Di Pulau Sumatera, kuburan massal telah teridentifikasi di beberapa titik, seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Padang Pariaman, Solok, Riau, dan Palembang.
Adapun yang terbesar di antaranya terdapat di Sumatera Utara dan Palembang. "Dari hasil wawancara dan penelitian di lapangan, diperkirakan korban mencapai angka puluhan hingga ratusan," ujar Bejo.
Bejo menuturkan, di daerah Sumatera Utara terdapat sebuah sungai yang bernama Sungai Ular, yang pernah dijadikan lokasi pembantaian tahanan politik ataupun warga yang dituduh anggota PKI.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 berhasil mendokumentasikan wawancara dengan pelaku dari warga masyarakat biasa yang mengakui adanya peristiwa pembantaian di sungai tersebut.
Salah satu pelaku, kata Bejo, ketika diwawacarai, mengaku ditakuti dan dipaksa oleh militer untuk menjadi algojo. Sementara itu, Pulau Kemarau, Palembang, tercatat pernah menjadi kamp konsentrasi tapol PKI.
Orang-orang yang berhasil ditahan oleh aparat keamanan mengalami penyiksaan selama masa penahanan sebelum akhirnya dibunuh dan dihanyutkan ke laut.
"Ada juga yang ditenggelamkan hidup-hidup ke laut dengan cara diikatkan dengan pemberat, seperti besi," tutur Bejo.
Menurut saksi sejarah Dolah, jika Pulau Kemarau memang diperuntukkan bagi anggota PKI kelas A yang kebanyakan berasal dari Bangka.
Asal Palembang memang ada, tapi yang benar-benar 'komandannya', bukan anggota biasa.
Masa itu, menurut dia, sudah biasa melihat darah mengalir di sungai. Bahkan, mayat mengapung di sungai sudah bukan hal yang aneh. Bahkan suara tembakan eksekusi anggota PKI juga dianggap hal yang biasa.
"Kami dulu tidak boleh mendekati penjara itu. Ada batasnya. Seratus meter dari penjara tidak boleh mendekati, kalau masih ngeyel ditembak. Begitu juga ketika ada mayat yang mengapung tidak boleh diurusi, kalau berani coba-coba ya dihajar benar," katanya yang mengaku tinggal lama di lokasi
Eksekusi yang dilakukan tidak selalu malam. Kata dia, tahanan disuruh memajat pohon kemudian ditembak dari bawah. Ketika sudah demikian langsung dimasukkan dalam karung berukuran besar dan dibuang ke sungai.
"Setiap karung itu ada sekitar 10 sampai 15 orang. Kadang ada yang belum mati dimasukkan disitu. Kan karungnya dikasih pemberat besi, dibuang ke sungai. Beberapa hari mayatnya mengambang, timbul dan makanya banyak yang balik ke sungai kami sini lagi," kenangnya.
"Jadi ndak ada mayat yang dieksekusi itu di kubur. Mayatnya dibuang ke sungai semua, ditenggelamin," tambah dia.
- Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN KETIGA]
- Menelusur Benih Laten Komunis di Bumi Sriwijaya [BAGIAN PERTAMA]