Menanti Dampak Lingkungan Pembangunan Kompleks Perkantoran di Keramasan : Hilangnya RTH, Terbitlah Banjir 

Lokasi pembangunan perkantoran Keramasan. (rmolsumsel.id)
Lokasi pembangunan perkantoran Keramasan. (rmolsumsel.id)

Wacana pembangunan komplek perkantoran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel di Keramasan Palembang dinilai bakal menimbulkan dampak lingkungan.


Pasalnya, pembangunan tersebut mengurangi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan menimbun rawa.

Pakar Tata Air dan lingkungan dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Sumsel, Dr Edward Saleh mengatakan saat ini RTH di Palembang sangatlah minim yakni berdasarkan pemaparan dari PU PERA hanya sekitar 12 persen. Padahal, standar yang diatur pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, RTH harus mencapai 30 persen dari luas wilayah perkotaan.

"Apalagi Palembang yang posisinya rendah dan merupakan lahan rawa sangat membutuhkan resapan air hujan dan kota Palembang termasuk curah hujannya tinggi. Jadi persentasi luas RTH tersebut sangatlah sangatlah jauh dari ideal," katanya beberapa waktu lalu. 

Dia menegaskan, jika ini tidak dibenahi maka kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi yaitu banjir sesaat apabila terjadi hujan besar. Menurutnya, alih fungsi lahan dari rawa menjadi non rawa sepertinya telah melampaui batas luas yang diizinkan, dan banyaknya penimbunan tak berizin karena luasnya kecil-kecil.

Selain itu, Perda Rawa Kota Palembang yang pernah ditetapkan yakni Nomor 11 Tahun 2012 sudah tidak sesuai lagi dan seharusnya ini ditegakan dengan tegas. Sehingga ini dapat menjadi solusi jangka pendek. 

Untuk solusi jangka panjang yakni pembangunan harus berorientasi konservasi rawa, seperti pemerintah memberikan contoh pembangunan tanpa menimbun. Bukan malah melakukan pembangunan Kantor Pemda Sumsel di Keramasan tepatnya di seberang Musi II Palembang yang menimbun daerah rawa.

"Saya mengusulkan Pembangunan kawasan perumahan sistem polder, rumah dan tempat parkir mobil tidak menimbun rawa tetapi dengan tiang, untuk mengendalikan air di dalam polder dibantu pompa air, dan air yang dalam polder dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan dan pemeliharaan tanaman air yang bernilai ekonomi," tutupnya. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Muhammad Hairul Sobri juga menyayangkan tindakan pemerintah yang telah mengabaikan fungsi rawa dalam pembangunan di kawasan Keramasan ini. 

“Kalau dilihat pemerintah selalu tidak berpegang teguh pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dan dengan mudahnya mengubah wilayah yang dulunya serapan menjadi wilayah alih fungsi,” katanya saat dihubungi, RMOLSumsel, Senin (26/7).

Ia sependapat dengan Dr Edward dimana pembangunan di kawasan ini akan memunculkan wilayah banjir yang baru. Sobri juga mengaku di wilayah merupakan daerah serapan yang merupakan bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH).

“Bagaimana pemerintah bisa mengendalikan banjir sedangkan pemerintah sendiri memberikan contoh yang buruk terhadap pembangunan,” ujarnya.

Menurutnya, wajar hingga saat ini pemerintah belum mampu melakukan penataan terhadap perluasan property yang mengalihfungsikan rawa dengan cara menimbun, sehingga membuat Palembang tidak lepas dari banjir dan semakin meluas setiap tahunnya. 

“Seharusnya setiap itu memperbaiki lingkungan dengan memperluas RTH, membuat pola pembangunan berkelanjutan. Tapi justru, pemerintah memperburuk situasi dan memperluas areal banjir,” tegasnya. 

Selain itu, Perda Rawa yang dibuat juga sejauh ini tidak dipatuhi dan terkesan menutup mata baik, oleh swasta maupun pemerintah itu sendiri. Bahkan, hamper seluruh pembangunan seperti property atau perumahan tidak melalui proses pengawasan sehingga terjadi penimbunan dan mengubah alihfungsi rawa. 

“Dengan kondisi in maka Perda Rawa itu seakan tidak ada harganya dan diabaikan termasuk oleh pemerintah itu sendiri,” tutupnya.

Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang menggelar sidang lapangan di lokasi pembangunan komplek perkantoran terpadu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel dan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang di Keramasan, Jumat (23/7) pagi.

Sidang lapangan ini merupakan lanjutan sidang gugatan dari dari Komite Aksi Penyelamat lingkungan (KPAL) melalui kuasa hukumnya Turiman, SH dan Yuliusman, SH, terkait izin lingkungan penimbunan kawasan komplek perkantoran yang berada di Jalan Yusuf Singadekane, Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati.

Pihak penggugat dari KAPL, Andreas OP menyayangkan dan kecewa karena pihak tergugat tidak hadir dalam sidang lapangan tersebut. Apalagi, dalam sidang lapangan tersebut terbukti  bahwa lahan yang rencananya dibangun komplek perkantoran itu telah berubah dari keadaan sebelumnya atau sudah di timbun.

“Dapat kita lihat langsung seluruh ekologis kawasan itu hilang, itu bukti kerusakan lingkungan ada, terlihat semua rawa rawa sudah tertimbun,” ungkap dia.

Pihak penggugat mempertanyakan mengapa pengambilan sampel pengajuan perizinan diambil dari Sungai Musi, bukan di sungai terdekat lokasi yaitu Sungai Pedado dan Sungai Keramasan.

“Dalam hal ini, kami sampaikan kepada masyarakat bahwa di lokasi objek izin yang kita inginkan harus sesuai dengan Perda Kota Palembang tentang Tat Ruang Daerah Rawa,” kata dia.

Kondisinya, terang Andreas, izin terbit sesudah ditimbun sejak Oktober 2020. Jadi objek yang tempat sidang lapangan ini didalilkan adalah Perda Rawa sebagaimana dalam Perda Kota Palembang.

“Dan kita saksikan di sini sudah menjadi catatan, bahwa telah didalilkan terjadi kerusakan ekosistem rawa dan seluruh flora dan fauna yang ada, dan bergantung pada ekosistem alam,” terang dia.

“Para pengggugat secara langsung berhak secara konstitusional  atas lingkungan hidup yang sehat, dan layak secara potensial dari daerah resapan air seluas 40 hektare dan yang telah di timbun 32 hektare. Ini berpotensi terjadi banjir,” tandas dia.