- PDI Perjuangan Sumsel Bantah MInta Mahar Politik Calon Kepala Daerah
- Tenang, Ketua Parpol Bukan Penyelenggara Negara, Tidak Bisa Dijerat KPK dalam Urusan Mahar Politik
Baca Juga
Baru-baru ini pendapat untuk memutus mata rantai dampak adanya mahar politik, yang artinya berkaitan dengan pengawasan partisipatif pasca penetapan calon terpilih, disuarakan. Pendapat yang kemudian memunculkan perdebatan itu tepatnya dipantik oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.
Ketua KPK menilai, beberapa kasus korupsi yang menjerat calon terpilih, baik sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, maupun anggota legislatif, salah satunya disebabkan oleh aturan Presidential Threshold.
Ambang batas hingga 20 persen itu membuat beban dan tanggung jawab politik yang besar bagi calon terpilih. Biaya yang dikeluarkan pun tidak murah. Endingnya, para calon terpilih itu kemudian ketika menjabat lebih sibuk memikirkan "balik modal" atau "balas budi".
Saran tegas Firli tersebut didasarkan pada data dimiliki Firli bahwa ada 95,4 persen Kepala Daerah yang merasa perlu balas budi pada donatur dalam bentuk berupaya memberikan kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan.
Oleh sebab itu, maka salah satu pintu memutus mata rantai demikian adalah dengan mengubah aturan presidential threshold. Perubahan itu, tuturnya, memang belum tentu menihilkan perkara korupsi tetapi setidaknya dapat mengurangi.
Perubahan UU
Ide Ketua KPK ini, jika hendak direalisasikan, artinya harus dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan di dalam UU. Perubahan UU bisa terjadi dengan beberapa keadaan.
Pertama, melalui executive review dimana Presiden membuat Perppu dan mengubah hal-hal yang dimaksud. Kedua, dengan jalan legislative review yaitu perubahan UU pada umumnya melalui Proses Legislasi Nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketiga, atau yang sampai hari ini terus diupayakan, adalah dengan jalan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan gugatan dikabulkan dan norma yang dimaksud diubah.
Hanya saja semua langkah ini butuh proses. Proses itu pun melibatkan dialektika yang panjang sebab satu dan lainnya memiliki kepentingan yang berbeda.
Solusi Alternatif
Jika hendak dinilai secara jujur sesungguhnya masalah Pemilu bukan terletak pada persoalan presidential threshold an sich. Masalah utama dalam persoalan Pemilu justru lebih banyak berada pada belum meratanya tingkat pendidikan dan persoalan ekonomi pemilih.
Untuk mengatasi hal itu setidaknya dapat dilakukan dengan empat hal. Empat hal ini lebih realistis ketimbang ide untuk mengubah UU, atau secara eksplisit mengubah ambang batas Pencalonan Presiden.
Pertama, perlu dilakukan inovasi dalam penetapan calon peserta pemilu. Calon yang boleh mengikuti kontestasi harus memiliki kualifikasi dengan pendidikan politik terpadu yang ada di dalam internal Partai Politik.
Pendidikan itu setidaknya meliputi pendidikan tentang nasionalisme, tata negara, hukum, pemerintahan yang baik, keterbukaan informasi, dan komitmen antkorupsi. Semuanya harus didasarkan bukti telah mengikuti pendidikan dengan nilai-nilai yang standarnya telah ditentukan oleh ahli.
Asumsi ini sederhana. Seorang calon ASN saja ketika mendaftarkan diri menjadi seorang calon itu memerlukan syarat ketat dan proses seleksi yang tidak mudah. Padahal jabatan yang mereka duduki rata-rata bukan jabatan yang menentukan kebijakan.
Sudah barang tentu untuk jabatan yang memiliki dampak yang lebih luas semestinya proses seleksi yang dilakukan harus lebih kompetitif.
Kedua adalah memperketat pengawasan dalam persoalan dana kampanye. Hal-hal yang bersifat abu-abu harus dipertegas untuk dihilangkan dan segala persoalan di dalamnya mesti memuat tanggung jawab serta sanksi yang tegas. Sebab bukan tidak mungkin jika pintu masuk adanya mahar politik yang dimaksud Firli Bahuri itu menyelinap dalam dana kampanye.
Ketiga adalah pembaharuan di dalam sistem penegakan hukum Pemilu. Penegakan hukum Pemilu ke depan harus lebih mudah dijangkau, responsif, dan tegas. Sejauh ini banyak persoalan, bisa disebabkan substansi yang rumit dipahami maupun adanya limitasi penanganan, di bidang penegakan hukum Pemilu yang berakibat pada terpilihnya calon-calon yang menimbulkan masalah di kemudian hari.
Keempat adalah memanfaatkan kemajuan teknologi, tidak hanya untuk kepentingan tahapan, tetapi juga untuk mengurangi, mencegah dan mendeteksi kecurangan. Perangkat itu kemudian terintegrasi antar instansi dan lembaga.
Harapannya, dengan terintegrasinya perangkat teknologi tersebut, terjadi satu pola pencegahan kecacatan demokrasi di dalam Pemilu yang efektif dan harmonis.
Hal apapun yang disuarakan selama itu memiliki tujuan yang mulia harus kita apresiasi. Tinggal bagaimana kita kemudian berdialektika dalam menentukan dan memilih rumusan yang paling mungkin dapat direalisasikan saja.
*Penulis adalah Dosen ilmu Hukum Universitas Nahldatul Ulama Indonesia (Unusia)
- Siang Ini, Komisi II DPR Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2024
- Biaya Politik 2029 Diprediksi Membengkak
- Jokowi Tak Bisa Kendalikan Pilpres 2029 Usai MK Hapus Presidential Threshold