Masyarakat Diimbau Tak Terpengaruh Kampanye Hitam dan Negatif, Pilih Calon yang Punya Ide Gagasan Terbaik

Suasana doa bersama lintas agama dalam deklarasi Pilkada Damai di Griya Agung Palembang/ist
Suasana doa bersama lintas agama dalam deklarasi Pilkada Damai di Griya Agung Palembang/ist

Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak di Sumsel, 27 November mendatang, penyebaran kampanye hitam dan negatif baik di media massa maupun sosial kian masif. Hal ini tentu akan berdampak terhadap kualitas pelaksanaan pesta demokrasi. Selain itu, kampanye hitam dan negatif berpotensi menimbulkan konflik atau gesekan antar pendukung calon kepala daerah. 


Komisioner Bawaslu Sumsel Bidang Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi masyarakat dan Hubungan Masyarakat, Massuryati menjelaskan, ada perbedaan mendasar antara kampanye hitam dan negatif. Dia menjelaskan, kampanye hitam (black campaign) adalah strategi kampanye yang tidak etis dan dilarang dalam pemilu. 

Ciri-ciri kampanye hitam antara lain menyebarkan informasi negatif yang berupa fitnah, tuduhan palsu, atau informasi yang belum terbukti kebenarannya. Tujuannya untuk menghancurkan karakter atau citra seseorang. Sumber informasi atau pelakunya juga tidak jelas atau anonim, menggunakan data yang tidak sahih atau mengada-ada dan berfokus pada serangan pribadi yang tidak relevan dengan kapasitas sebagai pemimpin. "Serangan informasi buruk terhadap calon yang bertolak belakang dengan kenyataannya," kata Massuryati, Selasa (18/11). 

Sedangkan kampanye negatif (negatif campaign) lebih menunjukkan kelemahan atau kesalahan lawan politik menggunakan data yang valid. Tujuannya, untuk mendiskreditkan karakter seseorang, tapi masih dalam batas wajar. Lalu, sumber informasi dan pelakunya jelas, menggunakan data yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan dan masih berfokus pada substansi kebijakan atau kinerja.

“Negatif  Campaign mengkampanyekan yang jelek, misalnya salah seorang kandidat dulunya tersangka korupsi atau terlibat skandal. Nah, informasi ini yang terus disebarkan untuk menjatuhkan lawan politik," ungkapnya. 

Bawaslu Sumsel saat ini terus melakukan pengawasan terhadap praktik kampanye hitam maupun negatif yang dilakukan calon kepala daerah di Pilkada Serentak. "Baik itu di lokasi kampanye masing-masing calon maupun lalu lintas media massa dan sosial," tuturnya. 

Sebagai langkah preventif, Bawaslu Sumsel juga memberikan imbauan kepada tim pasangan calon serta masyarakat untuk menghindari praktik tersebut. "Kami juga melakukan bimtek, sosialisasi dan melibatkan masyarakat sebagai pengawas partisipatif," ucapnya. 

Terkait laporan dugaan kampanye hitam dan negatif, dia menjelaskan sudah ada laporan yang masuk ke Bawaslu baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. "Di Bawaslu provinsi kemarin sudah ada laporan yang masuk, dari seluruh laporan itu sudah diselesaikan dan ada tiga laporan sekarang sedang kajian awal tapi belum ada yang P21 atau indikasi pidana. Pasal yang disangkakan itu, rata-rata kemarin mengarah ke pasal 89 jo pasal 70 tapi itu tidak terpenuhi  setelah rapat dengan Gakumdu," bebernya. 

Ditambahkan Komisioner Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi, Ahmad Naafi, pihaknya tengah mendalami beberapa laporan yang melibatkan pasangan calon (paslon) dan media elektronik yang diduga melanggar Undang-Undang Penyiaran. Menurut Naafi, saat ini Bawaslu masih memverifikasi apakah laporan-laporan tersebut memenuhi syarat formil dan materil untuk dilanjutkan.  "Kalau sudah terpenuhi, kami akan mendalami materi lebih lanjut dan memutuskan apakah laporan tersebut bisa dilanjutkan atau tidak," katanya. 

Naafi menambahkan, proses ini akan segera diputuskan pada hari yang sama, dan jika laporan tersebut terregistrasi, maka akan dibahas lebih lanjut dalam pleno. Dia juga menyampaikan, beberapa laporan lain yang masuk terkait dugaan pelanggaran kampanye belum dapat dilanjutkan. Sebab, menurutnya dalam laporan tersebut tidak ditemukan unsur pidana yang jelas, sesuai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilu.

"Kami telah membahas laporan-laporan tersebut dalam pleno dan memutuskan bahwa laporan-laporan tersebut tidak bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan karena bukti materiilnya tidak cukup," katanya.

Selain itu, Naafi mengingatkan peserta Pemilu agar mematuhi aturan yang ada, terutama terkait dengan pelaksanaan kampanye yang melibatkan ASN, pejabat negara, dan badan usaha milik daerah (BUMD).  "Kami menghimbau kepada seluruh peserta pemilu di Sumsel untuk tidak melibatkan ASN, pejabat negara, maupun BUMD dalam kampanye tanpa melalui mekanisme yang sah," ujarnya. 

Bisa Dijerat Sanksi Hukum Berat

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Dr. Martini Idris SH MH, menegaskan praktik black campaign atau kampanye hitam dapat merusak reputasi seseorang dengan menyebarkan fitnah, hoaks, dan informasi yang merugikan. Black campaign sering kali melibatkan penyebaran rumor serta penggalian informasi pribadi yang dimaksudkan untuk merusak citra individu, bahkan dapat dilakukan oleh pihak perorangan atau kelompok karena ketidakpuasan terhadap kesuksesan kelompok lain.

"Tujuan dari black campaign adalah merusak kehormatan dan nama baik dengan cara menyebarkan informasi yang menyesatkan," ujar Martini.

Lebih lanjut, Martini menjelaskan sanksi hukum untuk pelaku black campaign sangat berat. Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelaku dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat 3, serta Pasal 28 ayat 1 dan 2, yang mengatur tentang penyebaran informasi palsu yang merugikan reputasi seseorang. Ancaman hukuman bagi pelaku meliputi pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Selain itu, pelaku black campaign juga bisa dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu. "Penyebar informasi palsu bisa dihukum penjara hingga 4 tahun atau denda sebesar Rp 45 juta," jelas Martini.

Namun, ia mengingatkan penegakan hukum terhadap pelaku black campaign tidak bisa dilakukan begitu saja. Penyidik harus terlebih dahulu menerima laporan dan melakukan penyelidikan serta penyidikan untuk mengumpulkan alat bukti yang cukup. Salah satu langkah penting adalah menghadirkan saksi ahli, terutama yang berkompeten dalam bidang ITE, bahasa, atau hukum pidana, guna memastikan validitas informasi yang disebarkan.

Martini juga menambahkan meskipun banyak laporan black campaign yang hanya sebatas laporan tanpa berlanjut ke ranah pidana, penyelesaian sengketa ini juga dapat dilakukan melalui jalur perdata dengan tuntutan ganti rugi atau melalui pendekatan Restorative Justice. 

Ciptakan Ketidakpercayaan Proses Politik

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri), Haikal Hafafa, menegaskan praktik black campaign dan negative campaign memiliki dampak yang sangat besar terhadap proses demokrasi, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penyebaran informasi yang menyesatkan, fitnah, dan kebohongan yang dimanfaatkan dalam kampanye negatif bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan merugikan pihak tertentu. Hal ini, menurut Haikal, pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang seharusnya berlangsung secara transparan dan demokratis.

"Pemilih yang terpengaruh oleh kampanye hitam cenderung membuat keputusan berdasarkan ketakutan atau kebencian, bukan pada visi atau program yang ditawarkan oleh para calon," ujar Haikal.

Lebih lanjut, Haikal menambahkan black campaign juga berpotensi menciptakan polarisasi dalam masyarakat, memecah belah kelompok-kelompok yang seharusnya bersatu dalam membangun demokrasi. Ia menilai hal ini dapat menyebabkan masyarakat ragu untuk terlibat aktif dalam proses politik, yang pada gilirannya mengurangi kualitas partisipasi publik dalam pemilu.

Menurut Haikal, untuk mengatasi masalah ini, pendidikan dan literasi media sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya informasi yang menyesatkan. "Kita perlu menciptakan lebih banyak ruang untuk masyarakat agar dapat dilatih untuk lebih kritis dalam menyaring informasi yang beredar," ujar Haikal.

Selain itu, pentingnya pemahaman tentang pola kerja media dan cara-cara di mana berita dapat dimanipulasi. Masyarakat, lanjut Haikal, harus diberikan pemahaman tentang bagaimana cara mengidentifikasi hoaks dan berita palsu, serta menghindari jebakan judul sensasional yang sering digunakan untuk menarik perhatian. "Sebelum membagikan informasi, pastikan untuk memeriksa isi berita dan melakukan verifikasi kebenarannya," tegas Haikal.

Haikal juga menyoroti praktik black campaign saat ini semakin beragam, dengan isu SARA yang sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat, pembunuhan karakter, dan penyebaran berita palsu yang tujuannya hanya satu yakni merusak integritas calon lawan. 

"Sentimen pribadi yang diangkat dalam kampanye hitam sangat berbahaya. Pemilih cenderung terpengaruh oleh sentimen pribadi, bukan ide-ide konkret yang seharusnya menjadi dasar dalam memilih calon pemimpin," pungkasnya.