Mantan Gubernur Bengkulu Jadi Tersangka Kasus Ini

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan. (ist/rmolsumsel.id)
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan. (ist/rmolsumsel.id)

Kabar mengejutkan datang dari Agusrin M Najamudin, mantan Gubernur Bengkulu periode 2005-2011.


Polda Metro Jaya menetapkan dirinya bersama mantan Anggota DPR RI, Raden Saleh Abdul Malik sebagai tersangka kasus dugaan penipuan cek kosong.

“Sudah tersangka, berkasnya juga sudah diserahkan ke kejaksaan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan dikonfirmasi wartawan, (23/12).

Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka pada September 2021 usai dilaporkan PT Tirto Alam Cindo (TAC). Berkas perkara kasus itu pun disebut telah diserahkan ke kejaksaan.

“Sudah tersangka. Berkasnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan,” ungkap Zulpan.

Sementara itu, Pengacara PT TAC, Andreas, menjelaskan kronologi hingga awal mula pelaporan. Saat itu, Agusrin M Najamudin hendak menawarkan kerja sama bisnis dengan pihak pelapor pada 2019.

“AG (Agusrin M Najamudin) mengaku punya HPH (hak pengelolaan hutan) di Bengkulu. Nah, rencananya dia mau membeli beberapa aset berupa pabrik dan alat berat dari PT TAC,” tutur Andreas.

Dalam rencana kerja sama itu, Agusrin sepakat membayar sejumlah uang kepada pihak pelapor hingga mencapai Rp 33 miliar melalui bentuk saham.

“Rp 33 miliar itu dipecah jadi dua. Sebenarnya Rp 32,5 miliar dan Rp 525 juta itu berupa saham. Artinya, dia membentuk sebuah PT CKI dengan komposisi dari pihak TAC 52,5 persen dan PT API sebesar 47,5 persen," jelas Andreas.

“Dari saudara AG, masukan nama RS (tersangka Raden Saleh) menjadi direktur utama dengan tujuan dia membeli Rp 32 miliar aset-aset tersebut,” sambungnya,

Dari transaksi yang disepakati, pelaku baru membayar Rp 2,5 miliar. Agusrin dan Raden Saleh lalu berjanji akan membayar sisanya melalui cek sebesar Rp 10,5 miliar dan Rp 20 miliar.

"Kemudian sudah jatuh tempo bulan September 2021, tapi tidak dibayar. Terus ditagih dan mereka bayar kembali Rp 4,7 miliar. Jatuhnya tetap dibayar Rp 7,5 miliar dari Rp 33 miliar,” terang Andreas.

Pada akhir 2019, pihak pelapor mencoba melakukan mediasi kepada terlapor, namun tidak digubris. Atas dasar itu, pihak pelapor membuat laporan di Polda Metro Jaya pada Maret 2020. Laporan itu teregister dengan nomor LP:1812/III/Yan 2.5/2020/SPKTPMJ tertanggal 17 Maret 2020.