Selain fatality, Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPRD Sumsel pada Senin (18/4) lalu juga mengungkap pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Manambang Muara Enim (PT MME).
- Pengelolaan Tambang oleh Kampus Harus Diberi Batasan, DPRD Sumsel: Jangan Sampai Ganggu Proses Perkuliahan
- Sugico Grup Diduga Lakukan Ijon IUP yang Merugikan Negara, Kementerian ESDM dan Kejagung Didesak Segera Bertindak!
- Operasional Dua Perusahaan Tambang di Morowali Utara Dihentikan
Baca Juga
Kepala Dinas LHP Sumsel, Edward Chandra yang ikut diundang dalam rapat itu mengungkapkan kalau PT MME pada 2021 lalu mendapatkan peringkat biru dalam penilaian proper perusahaan diberikan oleh Kementerian LHK, meski mendapatkan sanksi administratif paksaan pada 6 Desember 2021 lalu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa perusahaan pelanggar lingkungan kemudian mendapat peringkat proper biru yang artinya perusahaan telah taat dalam pengendalian pencemaran air, udara dan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Menurutnya, penilaian proper pada tahun 2021 lalu dilakukan pada bulan Agustus, sedangkan finalisasi hasil evaluasi perusahaan yang mendapatkan peringkat baik itu hitam, merah, biru, hijau maupun emas, dilakukan pada bulan November.
"Nah ini nanti akan kami konsultasikan ke Kementerian, ke Diroktorat yang menangani proper untuk sanksi ini,"katanya.
Secara rinci, Edwar menyebut berdasarkan SK sanksi administratif paksaan itu, PT MME diketahui tidak melakukan pengendalian pencemaran air, berupa ditemukannya saluran air penahan dari air larian areal reklamasi yang tertutup/tersumbat.

Sehingga saat terjadi hujan, air limbah yang dimaksud tidak mengalir ke Kolam Pengendap Lumpur (KPL) melainkan langsung mengalir ke Sungai Jemilih. Hal inilah yang dianggap sebagai pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT MME.
"Oleh Menteri, (PT MME) diperintahkan untuk memperbaiki saluran yang dimaksud. Untuk kewenangan verifikasi tindak lanjut pelaksanaannya, nanti kembali kepada Kementerian yang biasanya melibatkan Dinas LHP (Sumsel)," sambung Edward.
Dia menambahkan PT MME sebetulnya telah masuk dalam penilaian proper dari Kementerian LHK sejak 2015 silam. Sepanjang enam tahun terakhir, perusahaan ini selalu mendapatkan peringkat proper biru. Namun baru tahun ini, terjadi kendala seperti yang dijabarkan sebelumnya.
Selain polemik proper ditengah sanksi itu, Edwar juga merinci catatan lain terkait lingkungan PT MME yakni pada saat pelaporan di 2021 lalu, perusahaan masih belum memiliki alat pemantau kontinu kualitas air atau sparing.
"Artinya tidak sinkron antara dengan sanksi administratif dengan penyajian rapor proper biru. Karena kalau biru artinya taat semua, (namun) dengan adanya sanksi ini artinya (perusahaan) tidak taat, inilah yang akan kami konsultasikan ke Kementerian LHK (dalam waktu dekat)," ungkap Edward (*/bersambung).
- Universitas Muhammadiyah Palembang Siap Kelola Tambang di Sumsel, Ajukan Izin Batu Bara dan Pasir Korsa
- Pengelolaan Tambang oleh Kampus Harus Diberi Batasan, DPRD Sumsel: Jangan Sampai Ganggu Proses Perkuliahan
- DPRD PALI Ingatkan Medco Energy Pulihkan Sungai yang Tercemar Tumpahan Minyak