Lahan Digarap Sepihak, Warga Keban Agung Ancam Aksi Besar-besaran di PT Bukit Asam

Pemilik lahan di ataran Bintan Pelawi desa Keban Agung Kecamatan Lawang Kidul bersitegang dengan pihak perusahaan (ist/rmolsumsel.id)
Pemilik lahan di ataran Bintan Pelawi desa Keban Agung Kecamatan Lawang Kidul bersitegang dengan pihak perusahaan (ist/rmolsumsel.id)

Puluhan warga di Desa Keban Agung, Kecamatan Lawang Kidul, Muara Enim, Sumatera Selatan, bersitegang dengan pihak PT Bukit Asam (PTBA) terkait penggarapan lahan mereka yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan.


Warga yang tergabung dalam Masyarakat Ataran Bintan Pelawi yang dikoordinatori Ujang Syaifullah, memprotes penggarapan lahan yang dilakukan PTBA sejak tahun 2022 tanpa sepengetahuan atau izin dari pemilik lahan.

Ujang menjelaskan bahwa lahan tersebut telah mereka miliki sejak lama dan memiliki surat sah berupa SPPHT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan).

Pada tahun 2012, sebagian lahan mereka telah dibebaskan oleh PTBA dengan nilai Rp100.000 per meter untuk pembangunan kebun kelapa sawit, karet, dan lainnya. Namun, saat ini PTBA kembali menggarap lahan tersebut dengan alasan memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU).

"Ketika mereka butuh maka dibebaskan, saat ini pun sama katanya alasnya SHGU, mereka bahkan mengklaim sudah punya izin IUP padahal itu merupakan area perkebunan," ujar Ujang kepada RMOLSumsel, Jumat (3/5).

Warga telah melakukan mediasi dengan pihak PTBA dan PT Bumi Sawindo Permai (PT BSP) selaku pemegang SHGU, namun belum menemukan titik temu. PTBA dan PT BSP menawarkan ganti rugi yang dianggap tidak sesuai oleh warga.

Ujang menegaskan bahwa pihaknya berhak atas ganti rugi yang wajar sesuai dengan kondisi harga tanah saat ini, bukan berdasarkan harga pada tahun 2012.

Puncaknya pada tanggal 29 April 2024, PTBA kembali menggarap lahan seluas 12 hektar tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga. Hal ini memicu kemarahan warga dan berujung pada aksi protes.

"Sempat ada pertemuan, dan pihak perusahaan tetap beroperasi tanpa melakukan komunikasi dengan masyarakat, hingga tiga hari ini, sedang 2 tahun lalu sudah ada kesepakatan bahwa lahan tersebut tidak boleh digarap atau diganggu sebelum ada kejelasan," tegasnya.

Awal 2022 didata ada sekitar 400 pemilik surat di lahan tersebut, beberapa telah dijual sehingga menyisakan sekitar 300 pemilik lahan SPPHT, dengan ukuran beragam ada yang hektaran namun lebih didominasi kavlingan, karena lahan tersebut direncanakan untuk pemukiman, menyambung dari Bara Lestari 1 dan 2.

Pihaknya belum membuat laporan ke pihak kepolisian, karena ada kesepakatan akan dilakukan mediasi di kantor kecamatan pada 6 Mei 2024 nanti dan ada jalan kompromi.

"Sebelumnya kami sudah mengajukan nilai ganti rugi kepada mereka (perusahaan), harapannya itu dibayar, pada tahap awal mediasi kami mengajukan Rp1 juta per meternya dan kami turunkan Rp500 ribu per meternya," jelasnya.

Warga telah berkoordinasi dengan pihak berwenang dan berencana untuk melakukan demonstrasi ke kantor PTBA dan pemerintah terkait jika mediasi yang akan dilakukan pada tanggal 6 Mei 2024 tidak membuahkan hasil.

Sekretaris Perusahaan PTBA, Niko Chandra, menyatakan bahwa PTBA dan PT BSP melakukan kegiatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Niko menjelaskan bahwa PTBA memiliki hak atas tanah berdasarkan SHGU nomor 2 tahun 1994 dan telah melakukan perjanjian pemanfaatan lahan sementara dengan PT BSP.

"PTBA telah melakukan penyelesaian hak atas tanah dengan PT. BSP melalui perjanjian pemanfaatan lahan sementara," ungkap Niko.

Pembukaan lahan dilakukan untuk menjaga pasokan batu bara untuk ketahanan energi nasional dan telah melibatkan unsur pengamanan objek vital nasional, TNI, Kepolisian, dan Pemerintah setempat.

PTBA terbuka untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mencapai solusi yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.