Kuasa Hukum Korban Penyekapan Guru di Palembang Sebut Tes Kejiwaan Pelaku Upaya Hindari Hukuman

SMP Negeri 1 Palembang/ist
SMP Negeri 1 Palembang/ist

Kuasa hukum korban penyekapan di SMP Negeri 1 Palembang, Hermanto SH MH, menilai langkah pelaku menjalani tes kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ernaldi Bahar Palembang sebagai upaya menghindari hukuman pidana. Pelaku, yang merupakan guru honorer di sekolah tersebut, sebelumnya diduga melakukan penyekapan dan pengancaman terhadap seorang guru senior dengan senjata tajam.


Hermanto menegaskan bahwa tes kejiwaan tidak serta-merta membebaskan seseorang dari jerat hukum. Menurutnya, Pasal 44 KUHP hanya berlaku bagi mereka yang benar-benar mengalami gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, psikosis, atau gangguan bipolar yang membuat seseorang tidak dapat memahami akibat perbuatannya.

“Jika hasil pemeriksaan membuktikan pelaku memiliki kesadaran penuh saat melakukan tindakan, maka hukum harus ditegakkan. Tidak ada alasan bagi penyidik untuk menghentikan kasus ini hanya karena pelaku menjalani tes kejiwaan,” ujar Hermanto kepada wartawan, Minggu (23/3/2025).

Hermanto juga menyoroti bahwa pelaku, Tedy Tanjung Toher, telah menyelesaikan pendidikan secara berjenjang hingga jenjang magister dan telah melewati proses seleksi sebagai guru honorer. Hal ini, menurutnya, semakin menguatkan dugaan bahwa pelaku tidak mengalami gangguan jiwa berat yang dapat membebaskannya dari hukuman.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penyidik Polsek Ilir Barat I tidak memiliki kewenangan untuk membebaskan pelaku hanya berdasarkan dugaan gangguan jiwa. Keputusan mengenai kondisi kejiwaan yang dapat membebaskan seseorang dari hukuman pidana hanya bisa diambil oleh hakim berdasarkan bukti yang ada.

“Kami telah mengajukan surat resmi kepada RSJ Ernaldi Bahar pada 18 Maret 2025 untuk meminta para dokter psikiater bertindak profesional dan objektif dalam memeriksa kejiwaan pelaku. Kami juga mengajak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan agar menjunjung tinggi prinsip profesionalisme dan integritas dalam penegakan hukum,” tambahnya.

Menurut Hermanto, tindakan penyekapan dan pengancaman yang dilakukan di lingkungan sekolah bukan hanya merupakan tindak kriminal, tetapi juga merusak nilai-nilai pendidikan dan moral. Apalagi, pelaku diduga telah melakukan tindakan serupa berulang kali.

“Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi tenaga pendidik dan siswa. Oleh karena itu, hukum harus ditegakkan secara tegas dan tanpa toleransi terhadap tindakan kekerasan semacam ini,” tegasnya.

Sementara itu, korban Marlita Yuana menyayangkan langkah pelaku yang mencoba menggunakan tes kejiwaan sebagai strategi untuk menghindari pertanggungjawaban hukum. Ia menilai bahwa hasil tes dari RSJ Ernaldi Bahar justru dapat berdampak negatif bagi pelaku di masa depan, terutama dalam mencari pekerjaan lain karena tercatat memiliki riwayat pemeriksaan kejiwaan.

“Langkah ini hanya taktik untuk lari dari tanggung jawab. Namun, saya berharap pihak kepolisian dan kejaksaan tetap memproses kasus ini secara adil dan tidak terpengaruh oleh upaya manipulasi hukum,” ungkap Marlita.

Sebelumnya, kasus ini bermula dari laporan polisi yang dibuat pada 3 Februari 2025 dengan Nomor LP/B/367/II/2025/SPKT/Polrestabes Palembang, serta laporan lainnya di Polsek Ilir Barat I pada 4 Februari 2025. Pelaku dijerat dengan Pasal 335 KUHP serta Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 terkait kepemilikan senjata tajam.

Dari penyelidikan awal, motif pelaku diduga berkaitan dengan penilaian kinerja guru. Namun, kuasa hukum korban menegaskan bahwa kinerja guru bukanlah kewenangan korban, melainkan merupakan wewenang kepala sekolah.