Kolam Retensi Polda Tak Mampu Tampung Air, Bukti Pemerintah Abaikan Lingkungan?

Pengendara menembus banjir di Simpang Polda dengan latar belakang petugas Dinas PUPR Palembang yang kewalahan dan beristirahat/Foto: RMOL
Pengendara menembus banjir di Simpang Polda dengan latar belakang petugas Dinas PUPR Palembang yang kewalahan dan beristirahat/Foto: RMOL

Hujan deras membuat sejumlah genangan atau banjir di beberapa titik, seperti salah satu yang menjadi langganan, yakni kawasan Simpang Polda.


Kondisi ini terus berulang setiap kali hujan deras mengguyur Palembang, meskipun terdapat kolam retensi di kawasan tersebut. Bahkan dari catatan Kantor Berita RMOLSumsel, Pemkot Palembang telah juga melakukan pengerukan (normalisasi) pada Oktober 2021 lalu. 

Saat itu, dilansir dari laman https://lpse.palembang.go.id, normalisasi di kolam sedalam 1,5 meter itu dilakukan oleh CV Izzah Bahirah yang beralamat di Jl Sultan M Mansyur Kecamatan IB II Palembang dengan pagu Rp 1,5 Miliar. (baca: https://www.rmolsumsel.id/kolam-retensi-mulai-dinormalisasi).

Termasuk juga upaya pompanisasi yang dilakukan oleh Pemkot Palembang, dengan menyiagakan pompa setiap banjir tiba. Nyatanya, tetap tak mampu menghentikan genangan air di kawasan itu, seperti yang terlihat pula pada Selasa (14/2). Hujan deras dini hari hingga pagi, membuat genangan air tak surut hingga siang hari. 

“Wilayah Simpang Polda tersebut memang wilayah serapan yang kini sudah habis akibat pembangunan yang mengabaikan kajian strategis lingkungan hidup. Akibatnya daya dukung dan daya tampung dari kawasan tersebut sudah mencapai batasnya,” kata Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari kepada Kantor Berita RMOLSumsel, Selasa (12/4). 

Dia menilai, saat ini hampir setiap kolam retensi belum maksimal perannya dalam mengendalikan banjir. Berdasarkan data yang diterima oleh Walhi dari Pemkot Palembang, jumlah kolam retensi mencapai 45 kolam retensi. Namun, jumlah tersebut belum semuanya selesai. Bahkan, kolam retensi Taman Polda itu sendiri belum maksimal memainkan  perannya seperti yang didengungkan pejabat Pemkot Palembang.

Banjir di Simpang Polda Sumsel yang selalu terjadi ketika hujan deras/Foto:RMOL

Lebih jauh, Puspita menilai pembangunan di kawasan Simpang Polda cenderung terlihat mengabaikan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2017 tentang penataan ruang. Salah satunya yakni penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang paling sedikit 30 persen dari luas wilayah itu sendiri.

Secara keseluruhan, Walhi mencatat RTH di Palembang saat ini hanya 10 persen atau sekitar 3.725 hektar dari luasan Palembang yang mencapai 40.060 hektar. "Ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum benar-benar memberikan RTH yang sesuai dengan Undang-Undang," terangnya.

Oleh sebab itu, untuk mengatasi persoalan banjir di Simpang Polda diperlukan tambahan daya tampung dari kolam retensi untuk mengganti peran wilayah resapan yang saat ini tertutup oleh pembangunan. Pemkot Palembang, menurutnya perlu membentuk tim yang bertugas mengkaji, meriset, serta menganalisis bencana banjir yang sering terjadi di Kota Pempek. 

Satgas tersebut akan berperan sebagai tim penanganan banjir mulai dari sebelum terjadi banjir, tengah terjadi banjir, hingga pasca terjadinya banjir.

“Jangan menunggu banjir dahulu baru begerak, tapi dari pra hingga pasca, tim satgas sudah siap mengatasinya. Kan dari Pemerintahan sendiri banyak tenaga ahli dan riset yang seharusnya bisa mengetahui titik permasalahan banjir ini,” tegasnya.

Walhi sendiri sudah berulang kali memberikan hasil riset dan analisis kepada Pemkot Palembang. namun hal tersebut sepertinya diabaikan sehingga banjir ini terus terulang di Kota Palembang. 

“Harusnya riset dan analisis yang kami berikan kepada pemerintah ini dibaca, sehingga nantinya bisa dijadikan sebagai acuan pemerintah untuk mengentaskan permasalahan banjir di kota ini. Walaupun kebijakan itu kembali kepada pemerintah bagaimana mereka melakukan tata kelola," jelasnya. 

Lemahnya Kepemimpinan Bikin Wajah Palembang Carut Marut

Belum optimalnya kolam retensi di Simpang Polda ini dibenarkan oleh Pengawas Lapangan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Palembang, Randa J yang dikonfirmasi Kantor Berita RMOLSumsel. Dia mengatakan saat hujan turun maka kolam retensi tersebut selalu penuh sehingga tidak bisa lagi menampung kiriman air dari tempat lain.

“Kalau kolam sudah penuh kan kita tutup, tapi air terus datang baik dari kondisi yang masih hujan ataupun aliran dari daerah sekitar. Akibatnya genangan pun terjadi," katanya.

Menurutnya, diperlukan penambahan daya tampung kolam retensi karena pompanisasi ini hanya untuk mengalirkan air genangan yang tidak masuk ke dalam kolam retensi. Dia menjelaskan, untuk saluran air di Simpang Polda, saat ini sudah sesuai yaitu 1,5 meter untuk dibawah jalan dan 1 meter untuk sekitar kolam retensi. Namun, luapan tetap besar jika daya tampung kolam tidak cukup.

Pemerhati Sosial Bagindo Togar/ist

"Jadi butuh kolam yang sanggup menampung air ketika hujan yang apabila tertampung bisa kita salurkan melalui gorong-gorong. Jadi air itu masuk dahulu kekolam retensi dan setelah itu baru disalurkan ke sungai,” katanya. 

Ketidakmampuan Pemkot Palembang mengatasi banjir, tidak hanya di Simpang Polda, tetapi juga daerah lain, menurut pengamat Bagindo Togar adalah cermin lemahnya kepemimpinan yang ada saat ini. 

Banjir atau bencana yang terjadi di kota Palembang, yang dirasakan oleh masyarakat, cenderung hanya dijadikan ajang untuk pencitraan. 

"(Permasalahan) Tidak secara substansial diatasi, padahal banyak orang pintar di Dinas, staf yang punya kemampuan tapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Pejabatnya hanya mampu lakukan pencitraan," kata Bagindo. 

Seharusnya, pejabat mulai dari Wali Kota, Wakil Wali Kota dan Sekda yang kata Bagindo kerap melakukan pencitraan ini mendengar masukan masukan yang muncul dalam setiap permasalahan yang dihadapi Palembang. 

"Sekali lagi, maksimalkan kemampuan pegawai yang dimiliki, dengarkan suara masyarakat, dengarkan masukan ahli untuk bisa menjadikan Palembang lebih baik lagi," jelasnya. 

Berbicara mengenai kepemimpinan, untuk mengatasi banjir ini, sambung Bagindo merupakan hal yang mudah. Pemkot Palembang sebagai regulator punya anggaran, punya OPD yang membidangi hal tersebut.

"Baru hujan sedikit saja sudah banjir," cetusnya. Sehingga ia berharap jajaran pejabat Palembang bisa lebih proaktif dan serius dalam mengurus masyarakat. Tujuannya, agar wajah Palembang yang merupakan ibu kota Provinsi tidak terlihat carut marut.

"Jadi ketika mereka ini turun (habis masa jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota), ada warisan yang dirasakan oleh masyarakat," katanya.