Kembaro
Kembaro adalah nama sebuah pulau di Kota Palembang. Sebagian besar warga Palembang menyebutnya dengan nama ‘kemaro’ atau ‘kemarau’ yang merupakan pelafalan yang melenceng dari nama aslinya.
Dalam peta-peta lama yang dikeluarkan oleh Belanda, nama pulau yang terletak di sebelah timur Palembang ini ditulis dengan nama ‘kambaroe’, ‘cambores’, atau ‘gambora’. Nama-nama tersebut selalu terdiri dari tiga suku kata dengan susunan konsonan ‘(k,c,g)m-b-r’. Konsistensi pola itu memberi petunjuk bahwa nama asli pulau di Sungai Musi itu kurang lebih adalah ‘Kembaro’, seperti yang dituliskan pada peta Belanda di masa akhir pendudukannya atas Palembang.
Pulau Kembaro sendiri bukanlah tempat kosong tanpa sejarah. Pulau ini punya riwayat panjang yang bisa dibangun menjadi narasi yang beragam.
Pada tahun 1225, seorang petugas pelabuhan dalam kekaisaran China memberikan gambaran mengenai Sriwijaya dalam buku karangannya yang berjudul Chu Fan Chi. Dia menggambarkan bahwa di ibu kota Sriwijaya terdapat sebuah rantai yang dibentangkan di atas Sungai Musi.
Fungsinya untuk mencegah kapal perang musuh melintas dan menyerang ibukota Sriwijaya. Konon, penulis Chu fan Chi mengutip tulisan yang lebih tua, sekitar seratus tahun sebelum dia mulai menulis karyanya sendiri, yang memberi petunjuk bahwa keberadaan rantai ini setidaknya dimulai sejak tahun 1100 masehi.
Meski Chu Fan Chi tidak menyebut secara pasti dimana lokasi rantai ini dipasang tetapi metode perlindungan yang mempergunakan rantai masih dapat ditemui jauh setelah Kadatuan Sriwijaya runtuh.
Pada tahun 1659, sebuah rantai dibentangkan di Sungai Musi untuk melindungi Kota Palembang dalam perang melawan bangsa Eropa. Rantai ini terbentang dari Pulau Kembaro di sisi utara sungai sampai ke Plaju yang berada di sisi selatan. Rantai yang terbentang di Sungai Musi jelas ditunjukkan oleh Belanda dalam lukisan mereka mengenai Kota Palembang setelah berhasil menaklukannya.
Praktek pertahanan dengan mempergunakan rantai di sungai pada masa Kesultanan Palembang ini sesuai dengan gambaran yang dituliskan oleh Chau Ju Kua mengenai ibu kota Sriwijaya. Palembang sendiri adalah kota dimana Sriwijaya diyakini bermula dan lalu berjaya.
Jika disepakati bahwa kota yang digambarkan oleh Chau Ju Kua adalah Palembang maka praktek pertahanan memakai rantai telah lama ada di kota itu dan jika dianggap lokasi perentangan rantainya tidak berubah sejak masa Kadatuan maka Pulau Kembaro telah ada setidaknya sejak tahun 1100 masehi.
Kesultanan Palembang sempat mendirikan Benteng di Pulau Kembaro dan benteng itu diberi nama Tameng Ratu. Informasi mengenai keberadaan benteng ini diberikan oleh peta buatan Belanda yang terbit sekitar tahun 1660.
Benteng ini didirikan tepat di ujung timur Pulau Kembaro dan menghadap ke arah timur dimana kapal dari muara Sungai Musi akan datang menuju Kota Palembang yang berada di belakang Pulau Kembaro.
Pada bagian belakang Benten ini juga terdapat tempat untuk menautkan rantai yang membentang di Sungai Musi. Sama seperti di masa lalu, rantai ini berfungsi menjadi penghalang bagi kapal musuh yang hendak menyerang Palembang.
Jika musuh datang, maka rantai akan dikencangkan dan muncul ke atas permukaan sungai sehingga kapal tidak bisa lewat dan sebaliknya, bila dalam keadaan damai tanpa ancaman kapal musuh maka rantai dikendurkan sehingga turun sampai ke dasar sungai.
Dengan sejarah sepanjang dan sekaya itu, sudah selayaknya Pulau Kembaro dikembangkan sebagai wilayah bersejarah.
Sumber :
- Robbysnt.wordpress.com/2021/02/04/riwayat-panjang-pulau-kembaro
- Perang Palembang dan Benteng-Benteng Pertahanannya (1819-1821) Dr. Farida 1 [email protected]https://daerah.sindonews.com/berita/1032699/29/perang-palembang-pertempuran-sengit-pasukan-badaruddin-ii-melawan-belanda
- Kesultanan Palembang dalam pusaran konflik, 1804-1825, Farida R Wargadalem, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2017
- Baksos Peduli Dampak Covid-19 Kapolda Sumsel Jangkau Gang Kecil
- Demi Game Online di Warnet, Pemuda di Palembang Nekat Curi Kotak Amal
- Buron Kasus Curanmor Didor Polisi