Guru Terjebak Pinjaman Online Ilegal, PGRI Sumsel Soroti Kesejahteraan dan Rendahnya Literasi Keuangan

Ketua PGRI Sumsel Ahmad Zulinto/ist
Ketua PGRI Sumsel Ahmad Zulinto/ist

Profesi guru tercatat sebagai kelompok paling banyak terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumatera Selatan (Sumsel) menyesalkan hal tersebut, yang dinilai menunjukkan masih rendahnya literasi keuangan di kalangan pendidik.


Berdasarkan survei yang dilakukan oleh NoLimit Indonesia sejak 2021, sebanyak 28 persen masyarakat Indonesia tidak bisa membedakan antara pinjol legal dan ilegal. Dari hasil survei tersebut, diketahui bahwa 42 persen dari masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berprofesi sebagai guru.

Ketua PGRI Sumsel, Ahmad Zulinto, menanggapi temuan ini dengan rasa prihatin. "Saya dengar angkanya 42 persen, meskipun se-Indonesia, tapi ini sangat disayangkan. Bagaimana mereka bisa mendidik anak didiknya di sekolah jika mereka sendiri tidak paham," ujar Zulinto pada Senin (21/10).

Ia menilai bahwa kondisi ini mencerminkan bahwa kesejahteraan masih menjadi masalah utama yang dihadapi para guru. Padahal, sebagai pendidik, guru seharusnya mampu mengelola keuangan dengan baik dan hidup hemat. Menurutnya, penghasilan para guru, terutama yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sudah mencukupi karena ada tambahan pendapatan dari sertifikasi, gaji, hingga tunjangan kinerja (Tukin).

"Sebetulnya jika masih terjadi pinjaman online ini saya lihat masih adanya pemborosan yang terjadi. Padahal, pendapatan para PNS ini sama karena ada uang sertifikasi, gaji, penghasilan tinggi, bahkan daerah lain ada Tukin (tunjangan kinerja)," jelas Zulinto.

Maraknya kasus guru yang terjerat pinjol ilegal menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi persoalan serius yang perlu diselesaikan secara komprehensif. Zulinto menegaskan bahwa sulit membayangkan peningkatan kualitas peserta didik jika para pendidik masih menghadapi kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Ini menjadi salah satu indikator bahwa pendidikan kita masih perlu banyak pembenahan. Tidak mungkin kita bisa membayangkan kemajuan kualitas peserta didik jika sang pendidik masih berjibaku dengan upaya mencukupi kebutuhan sehari-hari," pungkasnya.