Dukungan Bagi Calon Non-Partai Dinilai Sebagai Bukti Gagalnya Kaderisasi, Memicu Penolakan di Akar Rumput

Pengamat Politik Sumsel Ade Indra Chaniago/ist
Pengamat Politik Sumsel Ade Indra Chaniago/ist

Dukungan terhadap calon non-partai tampaknya mulai mewarnai dalam ajang Pilkada Palembang mendatang. Fenomena ini dinilai sebagian pihak sebagai kegagalan dalam sistem kaderisasi partai politik, yang seharusnya mempersiapkan kader-kader terbaik untuk posisi strategis di Pilkada.


Pengamat Politik Sumsel Ade Indra Chaniago mengatakan, meskipun tidak ada larangan dari bagi calon non partai untuk maju Pilkada, namun hal itu membuka peluang bagi calon lain dengan cara yang instan. 

"Memang secara aturan tidak ada, tapi ini menunjukan jika lemahnya fungsi kaderisasi. Alhasil partai memilih jalan pragmatisme dengan mengambil calon diluar kader," ujarnya.

Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia itu mengungkapkan, munculnya fenomena ini pada kenyataannya akan berpotensi menimbulkan penolakan dari kader di tinggkat akar rumput. 

"Penolakan itu pasti ada, seperti yang sudah-sudah. Tapi saya kira tidak tidak signifikan kalau pusat sudah memutuskan," ujarnya. 

Cara instan yang dilakukan oleh partai untuk memenangkan Pilkada dengan merekrut calon non partai (baca: https://www.rmolsumsel.id/non-partai-seharusnya-bisa-legowo-pilkada-palembang-adalah-momentum-bagi-para-ketua-partai-untuk-menjadi-nomor-satu-59272), seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi partai politik. Sebab, Ade menilai ironi karena Pilkada merupakan ajang bagi partai politik untuk mengusung kader terbaiknya.

"Jika kader partai hanya pelengkap saja atau parpol hanya dimanfaatkan oleh kalangan non partai saja. Bisa saja publik menilai fungsi kaderisasi di partai memang tidak berjalan," jelasnya.

 Sekjen Partai Golkar Palembang, Rubi Indiarta/ist

Aspirasi Kader Dikesampingkan, Potensi Muncul Ledakan Arus Bawah

Sementara itu, Pengamat politik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes) Bagindo Togar menganggap partai politik cenderung tidak selektif dalam mengusung sosok yang akan maju di Pilkada. Sebab, selama ini tidak pernah terbuka dengan kriteria dan persyaratan. 

"Kalau kita lihat selama ini proses di parpol itu hanya bersifat administrasi saja, seperti orang masuk daftar PNS. Semuanya ikut daftar tapi kita tidak tahu kriteria dan karakter seperti apa yang dicari," kata Bagindo.

Proses inilah yang kemudian menjadi penyebab munculnya istilah kapitalisasi politik tingkat elit. Semua berlomba untuk mendapatkan dukungan dari pusat, dengan mengesampingkan aspirasi daerah. Sehingga isi tas menurutnya akan lebih menentukan dibandingkan integritas dan elektabilitas calon. 

"Seharusnya yang menjadi pertimbangan pertama adalah integritas, elektabilitas dan isi tas. Tapi kenyataanya justru itu terbalik, isi tasnya dulu yang dilihat. Makanya terjadilah kapitalisasi politik, jadi jangan heran jika kader partai kalah dengan non partai," paparnya.

Hanya saja, ibarat bom waktu yang siap meledak, penentuan keputusan di tingkat pusat yang mengesampingkan aspirasi daerah akan memberikan dampak pada saat pemilihan. Kader dinilai bakal ogah-ogahan memberikan dukungan maksimal, karena bukan yang mereka inginkan. 

Mengambil contoh, DPD Partai Golkar Palembang yang sampai saat ini belum menentukan akan mendukung siapa di Pilkada mendatang. Meskipun, saat dikonfirmasi Sekjen Partai Golkar Palembang, Rubi Indiarta menilai pihaknya akan tetap patuh dan tegak lurus pada keputusan partai di tingkat pusat. 

Dijelaskan Rubi, dalam rakerda lalu, pihaknya bersepakat untuk mengusung calon tunggal yakni Ketua DPD Golkar Palembang Muhammad Hidayat dalam Pilkada kota Palembang 2024. Sehingga pihaknya berharap hal itu tidak berubah sampai keputusan final nantinya. 

"Memang tidak ada aturannya karena Partai Golkar ini terbuka, semua boleh mendaftar. Apapun keputusan pusat seluruh kader harus patuh dan tegak lurus. Tapi kami berharap keputusan nantinya tidak berubah seperti rakerda sebelumnya," ujarnya.