Dianggap Langgar Asas Trasparansi, KPU Diminta Buka Ruang Keterlibatan Publik

 Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta/Ist
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta/Ist

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai telah melanggar asas keterbukaan dan akuntabilitas terkait penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dalam tahapan verifikasi admnistrasi partai politik (parpol) menuju Pemilu 2024.


Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta mengatakan, pihaknya meminta untuk lebih membuka ruang keterlibatan publik sekaligus melakukan evaluasi terhadap kinerja internal dalam penyelenggaraan tahapan pemilu.

"Tidak adanya ruang yang cukup untuk keterlibatan pemantau dan publik dalam proses verifikasi administrasi di KPU. Sipol yang digunakan oleh KPU dan dicantumkan dalam PKPU 4/2022, bersifat tertutup, yang bertentangan dengan asas penyelenggaran Pemilu yang terbuka dan transparan," ujar Kaka dalam keterangan tertulis, Kamis (20/10).

Kaka menilai, penggunaan Sipol yang tidak transparan dan cenderung tertutup berpotensi menimbulkan sengketa, bahkan pelanggaran yang tidak terdeteksi sistem maupun pengawasan publik. Apalagi kata Kaka, secara normatif Sipol tidak pernah diamanatkan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.

Di mana, parpol calon peserta pemilu juga merasa keberatan atas pelaksanaan verifikasi administrasi oleh KPU yang dinilai inkonsisten, tidak cermat dan tidak profesional.

"Banyak catatan dan keberatan dari calon peserta Pemilu 2024 yang tidak mendapatkan tanggapan dan penyelesaian secara memadaimemadai oleh KPU," katanya. 

Kaka juga menyoroti lemahnya peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menjalankan pengawasan pemilu, khususnya saat tahapan verifikasi administasi partai politik.

Kaka mengungkapkan, Bawaslu di beberapa daerah tidak memiliki akses yang memadai untuk melakukan pengawasan tahapan pemilu. Padahal keberadaan mereka diamanatkan oleh UU.

"Penjelasan dari Bawaslu di beberapa daerah, seperti di DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau dan Jawa Timur yang kami pantau menyebutkan soal tertutupnya akses bahkan untuk kerja pengawasan Bawaslu sendiri," terangnya.

Untuk itu, Kaka mendorong agar Bawaslu dapat membuka ruang penyelesaian atas berbagai catatan dan keberatan dari pelbagai pihak, baik secara litigasi maupun non litigasi.

"Untuk menjaga keadilan Pemilu, serta meggunakan kewenangan korektif atas permasalahan," pungkasnya.