Di Balik Plang Sengketa, Perjuangan Hj Kannu Mempertahankan Rumah dan Kenangan

Kannu bersama anak laki-lakinya saat berada di depan rumah. (Handout)
Kannu bersama anak laki-lakinya saat berada di depan rumah. (Handout)

Hari itu terasa panjang dan melelahkan bagi Hj Kannu. Nenek berusia 78 tahun itu akhirnya bisa pulang ke rumah setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Siti Fatimah Palembang. 


Suara kursi roda yang pelan menggema di lorong rumah sakit ketika ia berusaha untuk kembali ke kehidupannya yang tenang di rumahnya di Komplek Talang Kelapa, Blok 2A.

Namun, ketenangan yang diharapkan Hj Kannu sirna seketika saat ia tiba di depan rumahnya. 

Di sana, di pintu masuk yang dulu menyambutnya dengan hangat, berdiri tegak sebuah plang bertuliskan "SENGKETA." Tulisan itu seperti kilat yang menghujam langsung ke dalam hatinya, menimbulkan syok yang membuatnya tertegun dan sesak napas.

Hj Kannu tidak sendiri. Di sisinya, Moh Novel Suwa, pengacara yang mewakilinya dari LBH Bima Sakti, berdiri dengan ekspresi prihatin. 

“Nenek Kannu, tenang. Kita akan menyelesaikan ini dengan baik,” katanya dengan suara menenangkan, meski dalam hatinya ia tahu situasinya tidaklah sederhana.

Sengketa ini bukanlah hal baru bagi Hj Kannu. Keempat anak perempuannya yang selama ini diharapkan menjadi tumpuan hidup di masa tuanya justru menjadi pihak yang melaporkannya. Mereka menuntut agar rumah itu dijual dan harta dibagi. 

Namun, bagi Kannu, rumah itu bukan sekadar bangunan, itu adalah kenangan, saksi bisu dari masa-masa indah yang ia lalui bersama almarhum suaminya.

"Ini adalah rumah yang kami bangun bersama. Bagaimana mungkin aku pergi begitu saja?" gumam Kannu dengan suara lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Novel.

Novel memahami pergulatan emosional yang dialami kliennya. "Proses pengadilan masih berlangsung, Bu. Kita harus sabar menunggu putusan pengadilan," ujarnya sambil menepuk lembut punggung Hj Kannu, memberikan dukungan moral yang sangat dibutuhkan nenek itu.

Namun, di balik sikap tenangnya, Novel merasa gelisah. Kasus ini telah membawanya menyaksikan betapa rumitnya hubungan keluarga bisa berubah menjadi sengketa hukum. Anak-anak yang seharusnya menjaga orang tua mereka di masa tua, kini malah menjadi lawan di meja hijau.

“Nek Kannu hanya ingin keadilan. Rumah ini adalah bagian dari hidupnya, dan dia berharap bisa tetap di sini selama sisa hidupnya,” tambah Novel saat diwawancarai oleh media yang datang meliput.

Hj Kannu, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, memandang rumahnya sekali lagi. Di balik setiap dinding dan sudutnya, tersimpan cerita yang hanya dia dan suaminya yang tahu. Ia berharap, suatu hari nanti, anak-anaknya bisa mengerti betapa berharganya rumah ini bagi dirinya.

Meski masa depan tampak suram, Hj Kannu bertekad untuk menghadapi setiap tantangan yang ada. Baginya, setiap hari adalah perjuangan baru, dan ia siap untuk berjuang demi haknya.

Dengan langkah yang lebih mantap, ia berjalan memasuki rumahnya, berdoa agar suatu hari semua ini akan berlalu dan hubungan keluarganya bisa pulih kembali.