Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Fatah atau Sultan Fatah. Nama aslinya Raden Hasan, kelahiran Palembang dari ibu seorang puteri Campa yang berkebangsaan Cina. Tidak ada petunjuk pasti tentang tahun kelahiran. Ada sumber menyebutkan Raden Fatah lahir pada tahun 1455.
- Kisah Seniman Muda Astohari: Merekonstruksi Prasasti Sejarah dengan Ketelitian Tinggi
- Kunjungi Situs Cagar Budaya, Siswa Diktukbasus TNI AD Kenali Kekayaan Sejarah di Lahat
- Mahasiswa PPG Prajabatan Sejarah Gelar Nobar Film Dokumenter Pertempuran Lima Hari Lima Malam
Baca Juga
Menurut Saudi Berlian dari Forum Diskusi Studi Melayu Pascasarjana UIN Raden Fatah dan Lembaga Kajian Naskah Melayu, disebutkan berbagai sumber, ayahnya adalah raja Majapahit yang dikenal sebagai Brawijaya. Ketika isteri tua Brawijaya merasa tidak rela atas kehadiran Puteri Campa di lingkungan istana Majapahit, Ibu Raden Fatah ini diceraikan dan dititipkan kepada Aria Dilah di Palembang dalam keadaan sedang mengandung.
Selanjutnya, ia melahirkan Raden Fatah di Palembang. Setelah melahirkan Hasan, ibunya menikah dengan Aria Dilah dan melahirkan Husin. Keduanya mengalami masa kanak-kanak bersama ibu dan ayahnya dalam asuhan dan suasana keluarga muslim.
“Raden Hasan, diharapkan oleh Aria Dillah, kelak di kemudian hari dapat menggantikan dirinya sebagai pejabat Majapahit di Palembang. Tetapi rupanya dirinya sendiri tidak sepakat dengan rencana itu, sehingga secara diam-diam, ia berangkat merantau ke Tanah Jawa bersama adiknya. Belum diperoleh informasi yang pasti, pada usia berapa keduanya berangkat ke Jawa,” katanya, Rabu (11/8).
Di Jawa, menurutnya Raden Hasan belajar pada Raden Rahmat di Ampel Denta, sedangkan Raden Husin mengabdi pada kerajaan Majapahit, diangkat sebagai Catandha di Terung. Raden Hasan memperdalam ilmu keagamaannya di lingkungan pesantren binaan Raden Rahmat. Tokoh ini secara popular dikenal sebagai Sunan Ampel. Setelah dinikahkan dengan puteri Sunan Ampel.
Atas petunjuk dari ayah mertuanya itu ia diperkenankan untuk membuat perkampungan muslim di Glagah Wangi. Pada waktu itu, Glagah Wangi termasuk dalam wilayah Jepara. Tempat itu sekarang dikenal sebagai Bintara, dalam wilayah Demak.
“Perkampungan muslim dengan komunitas kecil itu, lalu tumbuh menjadi perkampungan besar dan berkembang menjadi institusi sosial politik berupa Kadipaten dalam lingkungan Majapahit (era Brawijaya V). Atas usulan Sunan Ampel, Raden Hasan dikukuhkan sebagai Adipati di Glagahwangi dengan gelar Adipati Bintoro. Inilah satu-satunya Adipati Majapahit yang beragama Islam di Jawa,” katanya.
Seiring dengan itu, Majapahit mengalami kemerosotan sampai mengalami keruntuhan sekitar tahun 1478 (tahun Jawa 1400). Ini angka tahun wafat raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V. (Sumber lokal menyebut angka ini dengan dua cara: Pararaton, “sunya nora yuganing wong”, Babad Tanah Jawa “sirna hilang kertaning bumi”). Setelah Majapahit runtuh, kadipaten Glagahwangi melepaskan diri dari Majapahit dan berkembang menjadi kerajaan selanjutnya memproklamirkan diri sebagai Kasultanan Demak.
“Pada tahun 1481, pusat kekuasaan Jawa berpindah ke Demak. Di bawah bimbingan kelompok Ulama, yang dikenal sebagai Walisongo Raden Fatah memimpin kasultanan ini. Inilah lembaga yang dikenal sebagai kekuasaan terbesar pertama Islam di Jawa. Pemindahan simbol berupa pilar serta benda pusaka keraton Majapahit, di samping yang terutama kesinambungan genealogi raden Hasan dengan raja Majapahit, menjadi unsur legitimasi bahwa kekuasaan muslim di Demak adalah penerus yang sah kekuasaan Majapahit sebagai kekuasaan yang sudah ada sebelumnya di Jawa,” katanya.
Menurut Saudi yang juga dosen Universitas Sumatera Selatan ini , perkisahan tentang masa awal kerajaan Islam di Jawa, pada masa sezaman dengan masa kekuasan Raden Fatah didominasi oleh legenda, cerita, dan sejarah lebih banyak terfokus pada para wali; atau pada kondisi suksesi dalam spektrum yang luas meliputi aspek ideologi, politik, dan sosial aspek religi di tanah Jawa.
Di antara spektrum yang luas ini, catatan tentang Raden Fatah dalam bentuk sejarah sangat minim. Di antara catatan yang minim itu, ditemukan dirinya disebut ketika masa-masa keruntuhan Majapahit (sebelum 1478), atau pun ketika meresmikan masjid Demak 1479, dan ketika kekuasaan Demak benar-benar menggantikan kekuasaan Majapahit 1481 .
“Peristiwa lain yang menyebut tentang keberadaan raja adalah dalam kaitannya dengan pasca peristiwa kontroversi Siti Jenar. Ini pun masih perlu verifikasi pula sehingga diketahui pasti apakah raja yang dimaksud adalah Raden Fatah atau yang lainnya. Selain peristiwa ini nama Raden Fatah sangat jarang disebut,” ucapnya.
Terasa sekali menurutnya, sejarah kesultanan Demak seolah mengalami “devaluasi” catatan kehadiran Raden Fatah sendiri di Demak, sebagai pusat kekuasaannya.Bahkan pada peristiwa bantuan Demak dalam penyerangan Portugis di Malaka sekitar 1511 - 1513, nama Raden Fatah tidak disebut. Catatan sejarah pada umumnya menyebutkan bahwa penyerangan itu dipimpin oleh Patih Unus, yang dengan tindakannya itu tokoh ini dikenal sebagai pangeran Sebrang Lor.
“Namanya Raden Fatah kembali masuk dalam catatan sejarah pada tahun 1518, yaitu tahun wafat dan sekaligus tahun berakhir masa kekuasaannya. Disebutkan bahwa pada tahun itu tokoh Raden Fatah wafat, dan dimakamkan di Demak. Makam itu terawat dengan baik di lingkungan kompleks Masjid Agung Demak. Sementara di Sumatera Selatan, tepatnya desa Pagar Batu kabupaten Lahat ditemukan sekelompok peninggalan lama berupa kompleks makam yang dinyatakan penduduk setempat sebagai makam keluarga Raden Fatah.
Disebutkan, di tempat ini Raden Fatah pernah bermukim, bersama isterinya yang berkebangsaan Cina yang dikenal dengan sebutan Pinatih Kala Diwe. Selain kompleks makam dan peninggalan fisik lainnya, didapatkan pula cerita tutur tentang anak-cucu keturunan, serta perkembangan diasporanya. Penduduk setempat menunjukkan beberapa makam yang diidentifikasi sebagai pengawal, kerabat dekat, serta prajurit Raden Fatah.
“Dalam perkembangannya, di antara komunitas itu ada yang diutus membuka perkampungan (babat alas) dan berdakwah di tempat lain di luar wilayah itu, seperti di daerah Lintang (Empat Lawang) serta tempat-tempat lain di sekitarnya,” katanya.
Informasi yang diperoleh menurutnya berdasar cerita tutur serta peninggalan fisik berupa makam dan benda-benda lain yang dikaitkan dengan keberadan Raden Fatah ini tentu masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut sehingga ditemukan kebenaran yang sahih, meyakinkan dan lebih utuh.
Dari penyelidikan ini dapat diperoleh bahan baru, untuk melengkapi sejarah politik dan perjuangan muslim, serta perkembangan dakwah khususnya di Sumatera Selatan pada masa lalu. Eksplorasi sejarah politik muslim Demak lebih banyak difokuskan pada peristiwa suksesi Demak-Majapahit, kehidupan sekitar Walisongo, penyerangan Malaka (tanpa menyebut Raden Fatah).
“Pada sisi lain, penyelidikan ini dapat melengkapi informasi tentang jaringan pengembangan agama Islam di Sumatera Selatan, khususnya di wilayah pedalaman,” pungkasnya.
- Kisah Seniman Muda Astohari: Merekonstruksi Prasasti Sejarah dengan Ketelitian Tinggi
- Dipecat Sepihak, Mantan Dosen Layangkan Somasi ke UIN Raden Fatah Palembang
- Kunjungi Situs Cagar Budaya, Siswa Diktukbasus TNI AD Kenali Kekayaan Sejarah di Lahat