Cegah Konflik, Gajah Liar Aceh Barat Kini Dipasangi GPS Collar

Salah satu Gajah jinak yang dilibatkan dalam proses pemasangan GPS Collar pada kawanan Gajah liar di Aceh Barat.  (BPBD Aceh Barat/rmolsumsel.id).
Salah satu Gajah jinak yang dilibatkan dalam proses pemasangan GPS Collar pada kawanan Gajah liar di Aceh Barat. (BPBD Aceh Barat/rmolsumsel.id).

Penanganan konflik antara gajah liar dan manusia di Aceh Barat kini memasuki fase baru. Tim Wildlife Response Unit (WRU) BPBD Aceh Barat, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Minggu (13/10) melakukan pemasangan GPS Collar pada kawanan gajah liar di wilayah Kecamatan Pante Ceureumen, yang kerap berinteraksi dengan warga setempat.


Kepala Pelaksana Tugas (Plt) BPBD Aceh Barat, Teuku Ronal Nehdiansyah menyebutkan, pemasangan GPS Collar ini merupakan bagian dari upaya mitigasi konflik yang diharapkan dapat mengurangi potensi interaksi antara gajah liar dan manusia. 

"Kawanan gajah ini sering terdeteksi berada di area pemukiman warga, yang menyebabkan ketegangan dan kerusakan lahan pertanian. Pemasangan GPS ini diharapkan bisa memberikan solusi jangka panjang dalam meminimalisir konflik," ujar Ronal.

Menurut Ronal, pemasangan GPS Collar akan memudahkan tim dalam melacak dan memantau pergerakan kawanan gajah secara real-time. "Melalui aplikasi yang terhubung dengan GPS Collar, kami dapat mengetahui posisi kawanan gajah dengan akurat, sehingga tim bisa merespons lebih cepat dan tepat saat terjadi potensi konflik di lapangan," tambahnya.

Namun demikian, Ronal mengakui bahwa pemasangan GPS Collar tidak secara langsung menghentikan interaksi antara gajah dan manusia. "Ini adalah langkah awal untuk lebih memahami pola pergerakan gajah liar dan merespons situasi di lapangan dengan lebih efektif," tegasnya.

Operasi pemasangan GPS Collar ini melibatkan 13 personel dari BKSDA Aceh, yang turut dibantu oleh dua ekor gajah jinak dari Saree. Gajah jinak ini berperan penting dalam memudahkan proses penangkapan dan pemasangan GPS pada kawanan gajah liar. Selain itu, tim WRU-BPBD Aceh Barat yang berjumlah 15 orang turut terlibat dalam operasi ini, dilengkapi dengan unit Dapur Umum Lapangan dan unit drone untuk mendukung pemantauan dari udara.

"Kehadiran gajah jinak dan ahli dari BKSDA Aceh sangat penting untuk memastikan kelancaran operasi ini, karena pemasangan GPS Collar membutuhkan waktu yang cukup lama dan keterampilan khusus," jelas Ronal. 

Tim gabungan juga mengantisipasi tantangan cuaca yang kurang bersahabat, yang dikhawatirkan dapat menghambat jalannya operasi.Ronal menyatakan bahwa fokus utama operasi saat ini adalah kawasan Krueng Meulaboh, lokasi terakhir yang terdeteksi sebagai tempat kawanan gajah liar berada. Namun, jika terjadi pergerakan kawanan ke wilayah lain seperti Lawet, Canggai, atau Lango, operasi akan segera dialihkan. 

"Kami siap menyesuaikan lokasi operasi jika kawanan gajah berpindah ke daerah lain, terutama di area yang juga dihuni oleh kawanan gajah lainnya," katanya.

Interaksi gajah liar dengan manusia di Aceh Barat bukanlah fenomena baru. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah insiden telah dilaporkan, termasuk rusaknya perkebunan warga di Desa Canggai, Kecamatan Pante Ceureumen. Warga juga melaporkan kekhawatiran atas keselamatan mereka, mengingat kedekatan lokasi kawanan gajah liar dengan pemukiman.

Salah satu warga, Syarifuddin, menyatakan keberadaan gajah liar membuat aktivitas sehari-hari warga terganggu. "Kami khawatir keluar malam-malam karena takut bertemu gajah di jalan. Lahan perkebunan kami juga sering rusak karena dilintasi kawanan gajah," ungkapnya.

Laporan serupa datang dari wilayah lain di Aceh Barat, termasuk Kluet Tengah, di mana sejumlah gajah liar merusak lahan pertanian warga. Kondisi ini telah membuat masyarakat resah dan memerlukan perhatian serius dari pihak terkait.