Investasi berupa aset keuangan digital seperti mata uang crypto (bitcoin, Eterium, Dogecoin dll), media sosial, reksa dana dan saham mulai diminati sebagian besar masyarakat Indonesia. Banyak dari mereka memilih aset keuangan digital lantaran menghindari pajak.
- Bitcoin Pulih dari Titik Terendah, Pasar Kripto Masih Waspadai Dampak Pernyataan Powell
- Pasar Kripto Stabil, Bitcoin Dibanderol di Atas 84.000 Dolar AS
- Bitcoin Melemah 3,4 Persen di Tengah Pembentukan Cadangan oleh Trump
Baca Juga
Namun rupanya aset keuangan digital sudah masuk dalam instrument penarikan pajak penghasilan. Transaksi penjualan aset keuangan digital akan dikenakan pajak apabila dikonversikan dalam mata uang rupiah.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) besarnya pajak penghasilan yang dikenakan terdiri dari lima lapisan. Sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif PPh sebesar 5 persen. Lalu. penghasilan kena pajak lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15 persen. Kemudian, lebih dari Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta tarif PPh yang dikenakan 25 persen.
Selanjutnya, penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar sebesar 30 persen. Terakhir, di atas Rp 5 miliar dibanderol PPh OP sebesar 35 persen. “Jumlah yang dikenakan itu setelah dikurangi Penghasilan Tak Kena Pajak (PTKP),” kata Kabid Penyuluhan, Pelayanan (P2) dan Humas Kanwil Ditjen Pajak Sumsel dan Babel, M Riza Fahlevi saat dibincangi, Rabu (19/1).
Riza mengatakan, pajak penghasilan dikenakan terhadap seluruh jumlah pendapatan yang diterima wajib pajak dalam satu tahun berjalan. Menurutnya, sumber penghasilan yang didapat itu tidak hanya berasal dari gaji atau upah. Tapi juga penjualan aset, usaha dan sumber pendapatan lainnya.
“Termasuk hasil dari jual beli aset. Seperti tanah, bangunan dan lainnya,” terang Riza.
Aset keuangan digital, menurut Riza sifatnya sama dengan aset tanah dan bangunan. Ketika aset tersebut tidak dijual, maka tidak akan dikenakan pajak penghasilan. “Kalau kita ada simpanan uang kripto, itu belum akan dikenakan pajak. Tetapi jika dikonversikan ke rupiah, maka itu baru dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan nilai pertambahan yang dihasilkan,” tuturnya. Seperti dalam kasus Ghazali yang menjadi sorotan publik beberapa waktu terakhir. Ghazali mengaku jika menerima uang dalam bentuk koin Eterium yang besarannya jika dirupiahkan mencapai Rp1,7 miliar. Nah, apakah Ghazali langsung akan dikenakan pajak?
Menurut Riza, hal itu tidak bisa dilakukan karena Eterium dianggap tidak bernilai di sistem keuangan Indonesia. “Kita hanya mengenal rupiah. Beda halnya jika dirinya menkonversikannya ke rupiah. Itu baru akan kita kenakan pajak,” ucapnya.
Riza mengatakan, selama ini transaksi keuangan aset digital terus dipantau. Riza juga membeberkan, pajak penghasilan individu yang mendapatkan penghasilan baik di dalam negeri maupun di luar negeri akan dilacak melalui Automatic exchange information dan aturan PP 31 tahun 2022. Dalam PP tersebut, penghasilan akan dicek termasuk penghasilan dari aset digital.
"Dari sana, tim pajak bisa memeriksa SPT yang dilaporkan termasuk ke kantor-kantor perusahaan bukan hanya di dalam negeri mau pun luar negeri. Tinggal kantor pajak akan mengkonfirmasi pajak yang dilaporkan oleh setiap individu," pungkasnya.
- Bitcoin Pulih dari Titik Terendah, Pasar Kripto Masih Waspadai Dampak Pernyataan Powell
- Pasar Kripto Stabil, Bitcoin Dibanderol di Atas 84.000 Dolar AS
- Bitcoin Melemah 3,4 Persen di Tengah Pembentukan Cadangan oleh Trump