Apa Itu Victim Blaming? Perempuan Wajib Paham karena Kerap Terjadi dan Dianggap Biasa

Ilustrasi victim blaming. (ist/net/rmolsumsel.id)
Ilustrasi victim blaming. (ist/net/rmolsumsel.id)

Pernah mendengar ada kasus pelecehan atau kekerasan seksual terhadap perempuan, namun justru yang disalahkan adalah korban yang tak lain perempuan itu sendiri. Ketika korban ingin menyuarakan penderitaan yang dialaminya, malah seakan keadilan tak berpihak pada korban kekerasan seksual.


Gambaran inilah yang disebut victim blaming, yakni menyalahkan korban. Peristiwa victim blaming ini sendiri memang kerap terjadi berulang kali. Kendati victim blaming secara alami sudah terprogram di pikiran manusia, namun ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Misalnya saja untuk hal sepele, seperti melihat orang tersandung saat berjalan, lalu muncul pikiran victim blaming bahwa dia kurang hati-hati melihat jalan di depannya.

Ada beberapa dampak negatif dari victim blaming, yakni tidak bisa memandang sesuatu secara objektif; Memarginalisasi korban yang selamat dari suatu kejadian; Menyepelekan suatu aksi criminal; dan Membuat korban segan bicara atau melaporkan kejadian.

Tanpa disadari, perlakukan kolektif victim blaming membuat sistem yang tidak berpihak pada korban. Terlepas dari banyaknya gerakan atau aksi sosial mendukung korban, tetap saja praktik victim blaming masih langgeng hingga kini.

Menurut Seksolog dan Sex Positive Advokate, Zoya Amirin M.Psi, FIAS dari akun Instagram @zoyaamirin, ada dua teori yang menjelaskan mengapa masih ada saja individu yang menyalahkan korban dalam kasus pelecehan seksual. 

“Susah mempercayai ada orang bisa disakiti tanpa kesalahan apapun. Mereka yang melakukan victim blaming karena percaya just world theory, cenderung dibesarkan Dengan hukuman tanpa dijelaskan letak kesalahan dan alasan dia dihukum,” ujar dia.

Zoya mengungkapkan, mereka yang percaya bahwa pelecehan dan perkosaan, terjadi pada orang yang memprovokasi pelaku, merasa aman dengan diri sendiri.

“Individu yang menyalahkan korban (victim blaming) berdasar instrisic fear theory, adalah orang-orang yang cenderung sering mencari pembenaran atas kesalahannya, sehingga cepat sekali menghakimi orang untuk melindungi ketakutan pada dosa yang dia tutupi,” tegas dia.

Kasus yang terbaru, Ketika Zoya menyikapi kasus pelecehan artis Dinar Candy yang menjadi host di salah satu tv swasta. Saat akan hendak syuting, Dinar Candy dipegang salah satu pengunjung tanpa izin dan kejadian itu terekam dengan jelas.

“Pelecehan ini terjadi di tempat umum dengan banyak orang banyak saksi, tapi tidak ada yang langsung melindungi dan membela korban. Segitu ramenya orang-orang sekitar dan mbak host Dinar Candy harus membela dirinya sendirian,” jelas dia.

Zoya juga menyesalkan apa yang dialami Dinar Candy justru dijual menjadi kontens clickbait di tiktok. Ketika media menganggap enteng pelecehan dan menjadikannya hiburan semata, maka media dinilainya ikut andil melanggengkan budaya tersebut di masyarakat.

“Lihat aja buktinya, komen-komen pada nyalahin korban dan mewajarkan pelecehan. Tidak mendidik, gak ada empati dan gak pantas,” keluhnya.