Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel menyoroti masifnya aktivitas pertambangan batubara di Sumsel. Organisasi gerakan lingkungan hidup ini melihat dampak industri batubara mulai dari hulu hingga hilir sangat berdampak buruk terhadap lingkungan. Terutama sebagai penyumbang emisi gas.
- Industri Pertambangan Indonesia Harus Tunjukkan Komitmen terhadap Keberlanjutan Lingkungan
- “Merdekakan Kami Dari Debu Batu Bara”
- 29 Perusahaan di Sumsel Dapat Proper Merah, Didominasi Sektor Pertambangan Batubara dan Perkebunan Sawit, Berikut Daftarnya!
Baca Juga
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, M Hairul Sobri menuturkan, aktivitas industri pertambangan di Bumi Sriwijaya mulai dari penggalian, transportasi hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara telah merusak lingkungan. Saat melakukan penggalian, terjadi pembukaan lahan hutan atau deforestasi yang cukup luas. Kehilangan luasan hutan yang cukup besar membuat penyerapan emisi menjadi berkurang.
“Belum lagi pelepasan gas yang terjadi di areal pertambangan. Kondisi inilah yang membuat industri menjadi penyumbang emisi gas terbesar di Sumsel,” kata Hairul saat dibincangi, Selasa (9/11).
Ia menambahkan, proses pengangkutannya juga menimbulkan dampak pencemaran. Selain itu, jalan tambang yang dibuka dengan membabat hutan kembali harus mengorbankan lingkungan. “Begitu juga aktivitas PLTU batubara yang melepas emisi gas cukup besar,” ucapnya.
Komitmen pemerintah yang ingin mengurangi gas rumah kaca sangat berbanding terbalik dengan realita di lapangan. Dimana segala perizinan untuk sektor pertambangan batubara ini berjalan mulus tanpa hambatan.
“Kami melihat, komitmen untuk mengurangi emisi ini hanya janji palsu yang dikeluarkan pemerintah,” bebernya.
Manager Kampanye Ekosistem Esensial Walhi Sumsel, Puspita Indah Sari mengatakan PLTU Batubara yang ada di Sumsel menambah emisi gas rumah kaca di Indonesia. Perubahan iklim yang terjadi di Sumsel juga telah tampak, tentunya ini juga berdampak hebat bagi keberlangsungan kehidupan iklim di Sumsel.
“Salah satunya kita tidak dapat lagi memperdiksi musim kemarau atau musim hujan. Di Palembang sendiri terus terjadi banjir di sejumlah tempat, kemudian tidak dapat memprediksi cuaca juga berdampak pada petani yang sangat bergantung pada perubahan cuaca. Hal ini sangat berdampak besar,” bebernya.
Puspita berharap pemerintah khususnya di Sumsel bisa beralih dari industri kotor ke industri bersih yang tidak mengeluarkan emisi. Hanya saja, butuh kajian mendalam pemanfaatan energi bersih yang cocok diterapkan.
“Energi kotor yang ada di Sumsel seharusnya sudah bisa beralih ke energi terbarukan tanpa mengeluarkan emisi. Di Sumsel sendiri sangat cocok sekali dengan energi terbarukan dari Solar Cell atau panas surya. Harapannya pemerintah lebih memperhatikan ini,” pungkasnya.
- WALHI Sumsel Soroti Potensi Konflik Satwa Liar Akibat Eksplorasi Panas Bumi di Lahat
- Banjir Palembang Kembali Renggut Nyawa, WALHI Sumsel Desak DPRD Kawal Putusan Pengadilan Soal Mitigasi Bencana
- WALHI Sumsel Sebut 94.000 Pohon di Sumsel Rusak Akibat Pemasangan APK Calon Kepala Daerah