Aktivis KAWALI Datangi Kejati Sumsel, Serahkan Bukti Dugaan Mega Skandal Korupsi Musi Prima Coal dan Lematang Coal Lestari

Ketua KAWALI Sumsel, Chandra Anugrah saat menyerahkan berkas  temuan dugaan mega skandal korupsi PT Musi Prima Coal dan Lematang Coal Lestari ke Kejati Sumsel.  (mizon/rmolsumsel.id)
Ketua KAWALI Sumsel, Chandra Anugrah saat menyerahkan berkas temuan dugaan mega skandal korupsi PT Musi Prima Coal dan Lematang Coal Lestari ke Kejati Sumsel. (mizon/rmolsumsel.id)

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Kawal Lingkungan Hidup Indonesia (KAWALI) Sumsel, Senin (5/9), mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel. Kedatangan mereka guna menyampaikan pernyataan sikap dan menyerahkan hasil temuan terbaru mereka serta membuat Laporan dan Pengaduan (Lapdu) dugaan mega skandal korupsi yang dilakukan sindikasi antara perusahaan PT Musi Prima Coal, PT Lematang Coal Lestari dan PT GHEMMI. 


Sekretaris KAWALI Sumsel, Kevin mengatakan, temuan tersebut berdasarkan dari penelusuran Kawali Sumsel atas dokumen Feasibility Study (FS), RKAB dan Realisasi produksi penambangan yang dilakukan oleh perusahaaan ini. Dari penelusuran tersebut, diduga ada upaya penggelembungan jumlah lapisan tanah penutup atau Overburden (OB) yang berpengaruh pada biaya produksi.

"Akibatnya, bagi hasil dari penjualan batubara ke negara menjadi kecil. Disinyalir, negara berpotensi kehilangan pendapatan ratusan hingga triliunan rupiah," kata Kevin saat dibincangi usai penyerahan berkas ke Kejati Sumsel. 

Berdasarkan data, PT Musi Prima Coal sudah beroperasi sejak 2010 dan mendapatkan persetujuan mengenai rencana produksinya. Namun baru pada 2018, sekitar lebih kurang tujuh tahun melakukan operasi, perusahaan ini baru melakukan revisi rencana produksi yang menimbulkan kecurigaan. 

Dalam dokumen pengajuan awal, untuk rencana produksi total 2010-2038 (sesuai IUP) berada pada angka 144.502.389 bcm OB dan 73.440.446 bcm batubara, dengan stripping ratio (SR) 1,97. Sementara setelah dilakukan revisi pada tahun 2018, terdapat perubahan rencana produksi menjadi 151.396.718 OB dan 48.348.000 batubara dengan SR 3,13. 

Apabila mengambil sampel pada tahun 2020, dalam dokumen FS diketahui rencana produksi sebesar 4.397.746 bcm OB dan 2.754.000 batubara dengan SR 1,60. Sementara dalam dokumen setelah direvisi terdapat rencana produksi untuk tahun 2020 sebesar 8.180.559 bcm OB dan 2.754.000 bcm dengan SR 2,97.

Sementara dalam RKAB, untuk tahun 2020 diketahui rencana produksi sebesar 8.200.000 bcm OB dan 2.370.000 bcm batubara dengan SR 3,46.

Namun dalam realisasi tahun 2020, diketahui produksi sebesar 8.582.835,8 bcm OB dan 2.136.968 bcm batubara dengan SR 4,02. 

"Apabila dikalkulasikan selisih SR dari realisasi tahun 2020 dengan dokumen FS awal, maka telah terjadi penggelembungan sebesar sekitar 60 persen," katanya.

Lanjut Kevin, dugaan penggelembungan ini disinyalir terjadi setiap tahun dengan jumlah yang sama. Sehingga selama sekitar 10 tahun telah terjadi kelebihan jumlah lapisan tanah OB sebanyak 42.058.698 bcm.

Lantas, dengan asumsi harga pengupasan OB dalam data FS yang sudah direvisi sebesar Rp17.244/bcm, jika dikalikan dengan jumlah 42.058.698 bcm, maka didapatlah angka yang diduga menjadi kerugian negara sebesar Rp725.260.188.312,- (tujuh ratus dua puluh lima miliar dua ratus enam puluh juta seratus delapan puluh delapan tiga ratus dua belas rupiah). 

"Jika dilihat dari kondisi dan kontur areal tambang perusahaan, rasanya tidak mungkin ada jumlah tanah sebanyak itu," bebernya. 

Menurutnya, dari investigasi yang dilakukan, perusahaan diduga menyiasati penggelembungan OB tersebut dengan menimbun Fly Ash Bottom Ash (FABA), dari pembangkit listrik PT GHEMMI. Dalam aktivitas ini, penimbunan FABA ini selain menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar, juga diduga terjadi upaya penggelapan didalamnya. Sebab sejatinya debu FABA itu bisa diolah menjadi barang yang layak guna. 

Telaah yang dilakukan oleh tim Kawali berdasarkan temuan dari Kementerian LHK beberapa waktu silam adalah sebanyak 200.000 ton FABA yang ditimbun. "Nilai kalkulasinya sekitar Rp100 miliar," bebernya. 

Dokumen FS dan RKAB itu, tambah Kevin, disetujui oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM. Sehingga aksi merugikan keuangan negara dan warga Sumsel ini disinyalir mendapat restu dari pusat.

Atas dasar temuan itu, KAWALI Sumsel mengajukan sejumlah tuntutan. Diantaranya meminta Presiden, Kapolri, Menteri ESDM, Menteri LHK, Menteri PUPR, Gubernur Sumsel menjalankan secara benar dan memaknai dengan sungguh-sungguh  Pasal 33 UUD 1945 sehingga mengedepankan kesejahteraan masyarakat.

Mendesak Pemprov Sumsel dalam hal ini Gubernur Sumsel Herman Deru menyetop seluruh aktivitas dan operasional pertambangan PT Musi Prima Coal, PT Lematang Coal Lestari dan seluruh yang terlibat, sampai ada kepastian hukum dan atau pencabutan izin usaha perusahaan tersebut.  

Meminta Aparat Penegak Hukum (APH) menangkap aktor intelektual dari sindikasi perusahaan ini yang diduga telah menyebabkan kerugian negara sampai ratusan miliar rupiah, juga mengusut serta menangkap oknum yang terlibat dalam upaya merugikan negara ini baik dari Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, sampai Pemerintah Pusat.

"Kami juga meminta Kementerian ESDM dan atau Pemprov Sumsel mencabut Izin Usaha Jasa Pertambangan PT Lematang Coal Lestari yang diduga telah melakukan penambangan illegal pada tahun 2015-2016 dan 2021 yang diduga mendapatkan dukungan (backing) dari oknum di dalam Kementerian ESDM," terangnya.

Tuntutan lainnya yakni mendesak Kejati Sumsel melakukan audit investigatif atas kerugian negara dalam aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Musi Prima Coal, PT Lematang Coal Lestari dan PT GHEMMI di Kabupaten Muara Enim yang berpotensi merugikan negara ratusan miliar rupiah. Kemudian, meminta PPATK untuk mengusut aliran dana dari PT Musi Prima Coal, PT Lematang Coal Lestari, PT GHEMMI ke rekening milik oknum yang terlibat dalam upaya merugikan keuangan negara, seperti oknum kementerian, pemerintah provinsi, pejabat dan mantan pejabat PT PLN, bahkan aparat penegak hukum yang bermain dalam kasus ini. 

"Terakhir yakni membekukan seluruh asset dari PT Musi Prima Coal dan PT Lematang Coal Lestari, kemudian memberikannya kepada masyarakat Muara Enim dan masyarakat Prabumulih sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan dan pencemaran yang telah dirasakan selama lebih dari 10 tahun terakhir," tegasnya.

Kevin menerangkan, pihaknya akan terus mengawal perkembangan kasus ini hingga tuntutannya terpenuhi. "Kami menggugah keberanian aparat dalam mengungkap kasus tersebut. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat dan keberlangsungan hidup kedepan," ucapnya. 

Ditambahkan Ketua KAWALI Sumsel, Chandra Anugrah, temuan tersebut sebenarnya telah dilaporkan ke sejumlah lembaga. Mulai dari DPRD Sumsel, Gubernur Sumsel, Kementrian LHK, dan ESDM. Tetapi sampai hari ini tidak ada tindakan nyata. Dia menilai, kepemimpinan saat ini lemah dan kalah dari aktivitas perusahaan perusak lingkungan yang kebal hukum.

"Fakta-fakta ini juga menunjukkan bahwa mafia di bidang pertambangan ini secara nyata telah mengurung kebijakan pemerintah, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa," tegasnya.

Pria yang akrab disapa Capunk ini juga mengatakan kinerja institusi pembuat kebijakan kian hari semakin buruk. Sebab, masih banyak praktik ilegal yang dilegalkan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan.

"Untuk itu, kami minta Kejati Sumsel turun untuk mengecek langsung ke lapangan, serta memberikan sanksi tegas secara nyata kepada tiga perusahaan tersebut,” tegasnya.

Sementara, Kasi Asintel Kejati Sumsel, Dian menyarankan agar Koalisi Kawali Sumsel memasukan Laporan dan Pengaduan (Lapdu) secara resmi ke Kejati Sumsel, agar dapat ditelaah dan ditindak lanjuti.

"Kami ucapkan terima kasih kepada Kawali Sumsel atas kepercayaannya untuk menangani dugaan kerugian negara oleh tiga perusahaan tersebut. Nanti akan kita laporkan ke atasan, agar bisa ditelaah dan ditindak lanjuti," jelasnya.

Jika dari hasil telaah memang ditemukan adanya indikasi kerugian negara, tambah Dian, maka pihaknya akan menyerahkan kasus ini kepada tim yang dibentuk oleh Kajati Sumsel.

"Yang jelas, kita lihat dulu hasil telaah dari pimpinan, baru kita bisa bicara banyak," pungkasnya.