Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) menindaklanjuti adanya laporan alih fungsi sungai tanpa izin yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang di wilayah Sumsel. Dari penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel, salah satunya pemindahan alur Sungai Kungkilan yang dilakukan PT Bara Alam Utama (PT BAU) di wilayah Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat.
- Duel Maut Hebohkan Warga Desa Tempirai PALI, Dua Orang Meninggal Dunia
- Mr X Ditemukan Tewas Terapung di Sungai Musi
- Ayah Mertua Mendagri Tito Rencananya Dimakamkan di TPU Kebun Bunga Siang Ini
Baca Juga
Kepala BBWSS Wilayah VIII Palembang, Maryadi melalui Kabid OP, Arlinsyah mengatakan, masyarakat atau perusahaan yang akan mengalihkan alur sungai wajib mengantongi izin resmi dari BBWSS. Terdapat persyaratan teknis yang ketat, lalu ada penilaian dari tim balai mengenai rencana perusahaan, sampai dikeluarkannya rekomendasi teknis tersebut. Jadi, kalaupun proses pemindahan sungai tercantum dalam AMDAL, tetap tidak bisa dilakukan tanpa adanya rekomendasi teknis dari BBWSS ataupun Kementerian PUPR.
"Upaya pemindahan sungai itu bisa disebut ilegal atau melanggar hukum. Karena dalam aturan disebutkan sejumlah kriteria sungai yang bisa diubah alurnya. Tidak semua sungai bisa dialihkan alurnya. Misalnya sungai di kawasan hutan lindung, itu tetap tidak bisa dilakukan pengalihan alur,” kata dia, seraya menambahkan, utamanya dalam proses pengalihan alur sungai yang harus dilihat adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Aturan - Aturan terkait Pengalihan Alur Sungai
Pemerintah sendiri telah membuat aturan untuk mengatur berbagai kegiatan yang bersinggungan dengan sungai, seperti tertuang dalam PP No.38 Tahun 2011 tentang Sungai. Misalnya perizinan yang terdapat pada pasal 57 menyebutkan: (1) Setiap orang yang akan melakukan kegiatan pada ruang sungai wajib memperoleh izin; (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelaksanaan konstruksi pada ruang sungai; b. pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran dan/atau alur sungai; c. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai; d. pemanfaatan bekas sungai; e. pemanfaatan air sungai selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; f. pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air; g. pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi; h. pemanfaatan sungai di kawasan hutan; i. pembuangan air limbah ke sungai; j. pengambilan komoditas tambang di sungai; dan k. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan karamba atau jaring apung.
Nah lebih rincinya, untuk izin tersebut diatur dalam Pasal 58: (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf g diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air ; (3) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf h diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pemanfaatan aliran air dan pemanfataan air setelah mendapat rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kecuali untuk kawasan hutan yang pengelolaannya telah dilimpahkan kepada badan usahamilik negara di bidang kehutanan; (4) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf i dan huruf j diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air (5) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf k diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.
Pada pasal 59 juga disebutkan bahwa pemegang izin kegiatan pada ruang sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 memiliki sejumlah kewajiban, yakni : a. melindungi dan memelihara kelangsungan fungsi sungai; b. melindungi dan mengamankan prasarana sungai; c. mencegah terjadinya pencemaran air sungai; d. menanggulangi dan memulihkan fungsi sungai dari pencemaran air sungai; e. mencegah gejolak sosial yang timbul berkaitan dengan kegiatan pada ruang sungai; dan f. memberikan akses terhadap pelaksanaan pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan.
Sementara dalam Pasal 60 diatur mengenai sanksi untuk pemegang izin yakni : (1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila pelaksanaan kegiatan pada ruang sungai yang dilakukan oleh pemegang izin menimbulkan: a. kerusakan pada ruang sungai dan/atau lingkungan sekitarnya, wajib melakukan pemulihan dan/atau perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkannya; dan/atau b. kerugian pada masyarakat, wajib mengganti biaya kerugian yang dialami masyarakat.
Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan berbentuk Permen PUPR No.21 Tahun 2020 tentang Pengalihan Alur Sungai, untuk pemegang izin, pribadi, ataupun perorangan yang berencana untuk melakukan pengalihan alur sungai. Dimana dalam ketentuan umum aturan tersebut disebutkan bahwa Pengalihan Alur Sungai adalah kegiatan mengalihkan alur Sungai dengan cara membangun alur Sungai baru yang mengakibatkan alur Sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen.
Dalam ketentuan teknis mengenai Pengalihan Alur Sungai seperti dijelaskan dalam pasal 4, haruslah dilakukan dengan: a. mengutamakan perlindungan dan pelestarian fungsi Sungai; b. mempertahankan dan melindungi fungsi prasarana Sungai yang telah dibangun; c. mempertahankan keberlanjutan fungsi pengaliran Sungai; d. memperhatikan kepentingan pemakai air Sungai yang sudah ada; e. memperhatikan fungsi pengaliran Sungai ditinjau dari aspek hidrologi, hidrolika, dan lingkungan; dan f. mempertimbangkan aspek morfologi Sungai secara keseluruhan.
Berikutnya, pada Pasal 5 disebutkan pula kewajiban dalam pelaksanaan Pengalihan Alur Sungai yakni: (1) Pengalihan Alur Sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan kewajiban mengganti ruas Sungai yang akan dialihkan alurnya dengan ruas Sungai baru dan (2) Ruas Sungai baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki luas yang sama dengan ruas Sungai yang dialihkan.
Untuk mendapatkan persetujuan, dalam Proses Pengalihan Alur Sungai maka sesuai dengan Pasal 6 butir 2, permohonan yang dimaksud harus dilengkapi dengan : a. peta lokasi Sungai yang akan dialihkan alurnya dan usulan rencana ruas Sungai baru; b. hitungan luas alur Sungai yang akan dialihkan alurnya dan luas rencana alur Sungai baru; c. hitungan aspek hidrologi dan hidrolika terhadap fungsi pengaliran Sungai sebelum dan sesudah Pengalihan Alur Sungai melalui suatu analisis model; d. hitungan pengaruh Pengalihan Alur Sungai terhadap muka air banjir di hilir lokasi pengalihan dan pengaruh penurunan dasar Sungai di hulu lokasi pengalihan terhadap kestabilan bangunan yang ada; e. desain konstruksi ruas Sungai baru; dan f. pernyataan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hanya saja, dari data yang diperoleh, perusahaan yang disinyalir melakukan pelanggaran lingkungan dengan mengubah alur sungai tanpa izin ini didominasi oleh perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Perusahaan-perusahaan ini disinyalir telah melanggar ketentuan dalam UU No.17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang mengatur sanksi terhadap hal tersebut seperti dalam Pasal 70 disebutkan :
"Setiap orang yang dengan sengaja (a) Melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); (b) Menyewakan atau memindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha atau izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4); atau (c) Melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),"
Juga dalam Pasal 74 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/ atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pdana yang dimaksud yakni berupa : (a) Pidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; (b) pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana yang lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73; dan/ atau (c) Pidana penjara terhadap pimpinan badan usaha yang besarnya sama seperti yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73.
Puncaknya, setiap aktivitas usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Tanggung Jawab Atas Pelanggaran Ada Ditangan KTT
Operasional pertambangan harus sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik, sesuai yang tercantum dalam Permen ESDM No.26 Tahun 2018. Untuk memastikan hal tersebut, maka ditunjuklah Kepala Teknik Tambang (KTT), posisi tertinggi dalam struktur organisasi lapangan pertambangan, yang memimpin dan bertanggung jawab atas terlaksananya operasional pertambangan sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik.
Berdasarkan Kepmen ESDM No.1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang baik, diatur tugas dan tanggung jawab dari seorang KTT, yang terdiri atas: (1). Membuat peraturan internal perusahaan mengenai penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik; (2) mengangkat pengawas operasional dan pengawas teknis; (3) mengesahkan PJO; (4) Melakukan evaluasi kinerja PJO; (5) Memastikan semua perusahaan jasa pertambangan yang beroperasi di bawahnya memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (6) Menerapkan standar sesuai dengan ketentuan perundangundangan; (7) menyampaikan laporan kegiatan jasa pertambangan kepada KaIT sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (8) Memiliki tenaga teknis pertambangan yang berkompeten sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (9) Melaksanakan manajemen risiko pada setiap proses bisnis dan subproses kegiatan pertambangan; (10) Menerapkan sistem manajemen keselamatan pertambangan dan melakukan pengawasan penerapan sistem manajemen keselamatan pertambangan yang dilaksanakan oleh perusahaan jasa pertambangan yang bekerja di wilayah tanggung jawabnya; (11) Melaporkan penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik kepada KaIT, baik laporan berkala, akhir, dan/atau khusus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (12) Melaporkan pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkala sesuai dengan bentuk yang ditetapkan; (13) Melaporkan jumlah pengadaan, penggunaan, penyimpanan, dan persediaan bahan dan limbah berbahaya dan beracun secara berkala setiap 6 (enam) bulan; (14) Melaporkan adanya gejala yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; (15) Menyampaikan laporan kasus lingkungan paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah terjadinya kasus lingkungan berikut upaya penanggulangannya; (16) Menyampaikan pemberitahuan awal dan melaporkan kecelakaan, kejadian berbahaya, kejadian akibat penyakit tenaga kerja, dan penyakit akibat kerja; (17) Menyampaikan laporan audit internal penerapan sistem manajemen keselamatan pertambangan mineral dan batubara; (18) Menetapkan tata cara baku untuk penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan pada tempat yang berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran lingkungan; (19) Menetapkan tata cara baku untuk penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik; (20) Melaksanakan konservasi sumber daya mineral dan batubara; dan (21) Menetapkan tata cara baku kegiatan pengelolaan teknis pertambangan mineral dan batubara.
Merujuk pada aturan tersebut, maka KTT PT BAU merupakan orang yang bertanggung jawab dalam setiap permasalahan dalam operasional tambang. Namun saat dikonfirmasi oleh Kantor Berita RMOLSumsel, KTT PT BAU Andri Wijaya bersama Humas dan Legal PT BAU, Pandu Prayudha menolak untuk berkomentar.
PT BAU Pernah Bersengketa dengan PTBA
Tidak hanya mengenai lingkungan, Kantor Berita RMOLSumsel juga melakukan penelusuran terhadap aktivitas PT Bara Alam Utama (PT BAU) yang bersinggungan dengan masyarakat di Kabupaten Lahat.
PT BAU merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMG) yang memegang IUP bernomor SK 3689.K/30/MEM/2015 yang berlaku hingga 2027 mendatang. Sedangkan wilayah operasi produksinya seluas 799,60 hektar, berada di Desa Lebak Budi, Desa Negeri Agung, Desa Ulak Pandan, Desa Tanjung Baru dan Desa Merapi Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat.
Kemunculan PT BAU pada era kepemimpinan Bupati Lahat Harunata sempat menjadi perbincangan. Saat itu, sekitar tahun 2006-2007 PT Bukit Asam selaku pemegang Kuasa Pertambangan (KP) di beberapa wilayah Lahat menggugat Bupati, dan lima perusahaan termasuk PT BAU. Pasalnya, PTBA menilai Bupati telah menyalahgunakan wewenang dengan memberikan izin pertambangan terhadap perusahaan swasta untuk menambang di wilayah PTBA. (Baca: https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18523/bukit-asam-gugat-bupati-lahat/).
PTBA mengajukan gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Lahat (Reg Nomor 04/Pdt.P/2008) pada 31 Januari 2008 itu atas perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan Bupati Lahat terkait izin Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi (KW.97PP0350) seluas 26.760 Ha dan KP eksplorasi (KW.DP.16.03.04.01.03) seluas 24,751 ha (wilayah sengketa) di Kabupaten Lahat, Sumsel kepada lima perusahaan penambangan tadi.
Kisruh antara PTBA dengan Bupati Lahat, maupun PT BAU dan empat perusahaan lain itu sempat menjadi sorotan karena melibatkan sejumlah petinggi negara. Salah satunya mantan Menkumham Patrialis Akbar. Bahkan, kasus ini juga akhirnya sampai ke Mahkamah Agung dengan nilai tuntutan ganti rugi dari PTBA yang cukup fantastis. Berupa ganti rugi materiil Rp206 miliar dan USD2,349 miliar, serta immateriil Rp1 triliun secara tanggung renteng. Gugatan tersebut juga diajukan terhadap Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lahat, serta Kepala Dinas Pertambangan dan Pengembangan Energi Sumatera Selatan (Sumsel).
Setelah gugatan yang dilayangkan oleh PTBA kandas, kasus ini kemudian meredam seiring PT BAU yang kemudian secara resmi berhasil mendapatkan IUP untuk beraktivitas di kawasan yang bersengketa itu pada tahun 2015.

Permasalahan Lingkungan yang Tak Kunjung Usai
Pada awal operasional, aktivitas tambang yang dilakukan PT BAU diduga membuat Sungai Kungkilan tercemar. Kemudian berubah menjadi semakin massif, dengan pilihan untuk memindahkan alur Sungai Kungkilan seiring dengan peningkatan kapasitas produksi, yang dinilai warga justru akal-akalan perusahaan untuk tidak bertanggung jawab atas pelanggaran lingkungan.
Tim Kantor Berita RMOLSumsel melakukan penelusuran dan berhasil merangkum cerita mengenai dugaan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT BAU sehingga mematikan alur Sungai Kungkilan ini:
Pada Oktober 2009, saat sejumlah warga Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, mengeluhkan aktivitas PT Muara Alam Sejahtera (PT MAS) dan PT Bara Alam Utama (PT BAU), yang diduga mencemari Sungai Kungkilan dengan limbah batubara mereka. Stockpile yang berada cukup dekat dengan Sungai Kungkilan membuat warga merasakan dampaknya.
Sejak munculnya aktivitas pertambangan batubara saat itu, warga desa merasakan adanya perubahan. Mulai dari ikan yang mulai berkurang, perubahan warna air sungai yang menjadi kehitaman, sehingga warga tidak lagi bisa memaksimalkan air sungai yang bermuara ke Sungai Lematang ini. (Baca: http://harianlahat.blogspot.com/2009/10/limbah-batu-bara-pt-mas-cemari-sungai.html).
Berdasarkan penelusuran lain diketahui, alur Sungai Kungkilan kemudian dipindahkan beberapa tahun setelahnya. Seiring dengan peningkatan produksi yang dilakukan PT BAU dari 2 Juta ton batubara pertahun menjadi 8 Juta ton. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang berlangsung pada 4 Juli 2012 - 11 Juli 2012 yang dirilis dalam laman http://rentez.blogspot.com/2013/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html.
Kegiatan penelitian ini meliputi pengukuran pada aliran Sungai Kungkilan di Desa Merapi Barat, Kabupaten Lahat. Semakin ke hilir, air sungai itu berkurang karena memasuki wilayah pertambangan di beberapa perusahaan yang di alirinya. Masyarakat di bagian hilir paling merasakan dampak dari berkurangan debit dan kualitas air, serta pencemaran limbah batubara yang terbawa oleh air sungai hingga ke hilir.
Warga kemudian melalukan protes, seperti yang tercatat dalam pemberitaan pada Maret 2014. Saat itu warga melaporkan PT Muara Alam Sejahtera (PT MAS) dan PT Bara Alam Utama (PT BAU) dan PT Bumi Merapi Energi (PT BME). Aktivitas pertambangan yang disinyalir tidak terkontrol membuat masyarakat resah. Sebab tidak hanya menganggu sumber air warga (Sungai Kungkilan), tapi juga disinyalir tidak mempertimbangkan masa depan warga.
Camat Merapi Barat saat itu, Aries Farhan, tak menampik kondisi di lapangan, yakni mengenai tercemarnya Sungai Kungkilan. Air sungai itu tidak lagi layak untuk digunakan oleh warga. Pernyataan ini diperkuat dengan data hasil uji kualitas air dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat yang menyebut ada sebagian titik di Sungai Kungkilan itu berada pada ambang batas baku mutu air, alias berbahaya. (Baca: https://beritapagi.co.id/2014/03/25/sungai-kungkilan-masih-tercemar.html).
Protes warga terhadap pencemaran dan perubahan alur Sungai Kungkilan yang dilakukan PT BAU kembali dilakukan pada Oktober 2015. Saat itu, warga yang menyampaikan aspirasinya di Kantor Pemkab Lahat mengungkapkan jika alur sungai telah berubah sepanjang 800 meter. Warga meminta PT BAU bertanggungjawab, karena di sisi lain perubahan alur Sungai ini juga memberi dampak negatif untuk sekarang dan di masa depan.
Pasalnya, akibat perpindahan alur Sungai Kungkilan itu, Desa Negeri Agung kehilangan wilayah sekitar 60 hektar, yang tentu secara administratif harus dipertanggungjawabkan pula oleh pihak terkait. Selesai berorasi di Kantor Pemkab Lahat, massa aksi bergerak ke Kantor DPRD Lahat dan diterima oleh Ketua DPRD Lahat saat itu, Herliansyah beserta jajaran. (Baca: http://sriwijayaonline.com/17551-lagi-warga-demo-kantor-pemkab-dan-dprd)
Warga secara tegas meminta PT BAU segera menghentikan produksi dan mengembalikan alur sungai seperti semula. Namun perwakilan PT BAU menjawab, bahwa aktivitas penambangan yang dilakukan sudah sesuai dengan izin Kementerian ESDM dan Bupati Lahat. Mengenai alur Sungai Kungkilan, apabila aktivitas pertambangan telah selesai, maka akan dikembalikan lagi seperti semula. (Baca: https://sumsel.tribunnews.com/2015/10/06/rusak-sungai-kungkilan-pt-bau-diminta-hengkang).
Pembuktian lain dari kasus pencemaran Sungai Kungkilan muncul dalam kajian penelitian yang dilakukan oleh Eddy Suroso, mahasiswa Program Pengelolaan Lingkungan Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Penelitian yang diterbitkan di Sriwijaya Journal of Environment pada 30 Mei 2017 itu menyebut, bahwa air Sungai Kungkilan mengalami penurunan kualitas saat melintasi kegiatan pertambangan batubara yang berada di areal milik beberapa perusahaan tambang di kawasan Merapi Barat, Kecamatan Lahat.
Rekomendasi dari hasil penelitian itu disebutkan, salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah adalah penerapan sanksi penegakkan hukum baik secara administratif, perdata dan/atau pidana bagi perusahaan pelanggar peraturan pengendalian pencemaran air. (Baca: http://www.ojs.pps.unsri.ac.id/index.php/ppsunsri/issue/view/18).
Berangkat dari kegelisahan dan keluhan warga, sejumlah anak muda di Lahat membentuk Gerakan Pemuda Peduli Ayik Kungkilan (GPPAK) yang kemudian melakukan ekspedisi di Sungai Kungkilan di kaki Bukit Hingin. Aliran sungai sepanjang 30 Km itu merupakan batas wilayah Desa Muara Maung dengan Desa Negeri Agung.
Eskpedisi yang dimulai Minggu 22 September 2019 itu, melacak jejak pencemaran Sungai Kungkilan dari bagian hulu Sungai. Baru berjalan sekitar 2 Km, tim langsung menemukan pencemaran karena terdapat areal disposal (pembuangan limbah) batubara yang menyebabkan air sungai menghitam karena sudah bercampur lumpur dan limbah batubara.
Koordinator Lapangan GPPAK, Rusdi menegaskan, sejak dimulainya aktivitas pertambangan yang salah satunya dilakukan oleh PT BAU, warga tak bisa lagi memanfaatkan Sungai Kungkilan seperti dulu. (Baca: http://lahatonline.com/194252-gppak-ekspedisi-sungai-kungkilan.html).
Ekspedisi ini juga menemukan beberapa penyebab rusaknya Sungai Kungkilan yakni: (1) Terjadinya perubahan warna air ketika musim kemarau air berwarna hitam kecoklatan berbau dan debit airnya menjadi tidak stabil. Ketika musim hujan debit air lebih besar dan banyak membawa lumpur; (2) Terjadinya pendangkalan sungai Kungkilan akibat lumpur yang terbawa arus pembuangan air Kolam Pengendapan Lumpur (KPL).Serta beberapa patahan disposal perusahaan tambang batu bara yang langsung diatas bibir Sungai Kungkilan; (3) Terjadinya pemindahan badan Sungai Kungkilan yang masuk dalam area eksploitasi perusahaan tambang batubara, serta pemindahan badan sungai Kungkilan akibat pelebaran area disposal perusahaan tambang batubara; (4) Terjadinya penambangan batubara di badan sungai kungkilan; dan (5) Menurunnya kuantitas biota sungai Kungkilan dan rusaknya vegetasi sungai Kungkilan.
Sengketa antara warga dan PT BAU terkait ganti rugi lahan dan kondisi lingkungan ini sebetulnya sempat ditengahi Gubernur Sumsel Herman Deru. Dari catatan pemberitaan, pada Februari 2020, Gubernur Herman Deru memimpin rapat sengketa lingkungan itu di Pemprov Sumsel. Tapi bukan dengan warga Desa Muara Maung ataupun warga Desa Negeri Agung, melainkan dengan warga Desa Ulak Pandan.
Usai rapat, Gubernur Herman Deru mengungkapkan, permasalahan terjadi karena miskomunikasi antara satu pihak dengan yang lain, terkait kompensasi lahan PT BAU seluas 128 Hektar yang mencakup Desa Lebak Budi, Desa Negeri Agung dan Desa Ulak Pandan di Kabupaten Lahat.
“Sebenarnya hanya permasalahan kejelasan mekanisme dari pemberian kompensasi itu saja. Karena PT. BAU sendiri bersedia dan menyanggupi. Namun harus ada mekanisme yang jelas sehingga tidak lagi muncul permasalah yang sama dikemudian hari,” terangnya. Tidak selesai sampai disitu, Gubernur meminta pihak terkait, termasuk Bupati Lahat Cik Ujang untuk ikut melakukan pengawasan dalam proses ini. (Baca: http://wartaterkini.news/gubernur-sumsel-pimpin-rapat-terkait-sengketa-pt-bau-kabupaten-lahat/).

Sayangnya, pada Juni 2020 warga kembali menuntut ganti rugi kepada PT BAU dan tiga perusahaan tambang lain yakni, PT. Karya Kasih Agung (PT KKA), PT. Bumi Merapi Energi (PT BME), dan PT. Muara Alam Sejahtera (PT MAS). Pasalnya hujan deras yang terjadi beberapa waktu sebelumnya membuat air Sungai Kungkilan meluap dan membawa material lumpur yang merusak lahan pertanian warga.
Nopriansyah, perwakilan Satuan Peduli Lingkungan dan Masyarakat (SALIM) mengatakan, ternak warga juga ikut mati dan rumah warga ikut tergenang lumpur dari aktivitas pertambangan yang tidak berwawasan lingkungan itu. Lebih lagi, ganti rugi yang akan diberikan perusahaan tidak sesuai dengan apa yang telah dirasakan oleh warga selama ini, sehingga wargapun nekat memblokir jalan. (Baca: https://monologis.id/nusantara/warga-lahat-tuntut-ganti-rugi-4-perusahaan-tambang).
Kemudian, Sumhanaya, warga setempat, menuntut ganti rugi karena lahan pertanian dan rumah miliknya sudah rusak dan terendam lumpur. “Hari ini kami beramai-ramai mendatangi kantor PT. BAU, untuk menagih janji perusahaan untuk mengganti rugi. Kami mengalami gagal panen, kolam rusak, hewan ternak kami mati dan lumpur yang tergenang di dalam rumah kami” katanya.
Ia menambahkan, banjir yang membawa lumpur dari tambang sebelumnya juga terjadi pada 27-28 Desember 2019 dan warga sudah melaporkan kerusakan serta pencemaran lingkungan ini ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat. Bahkan nilai kerugian yang dialami warga sudah dihitung oleh tim yang dibentuk pemerintah daerah. Namun sampai saat itu, enam bulan berselang, tidak ada penyelesaian dan tindakan tegas dari Pemda terutama DLH Lahat.
Warga menilai, Dinas Lingkungan Hidup Lahat tidak berani memberikan tindakan tegas kepada perusahaan yang telah merusak dan mencemari sungai kungkilan yang mengakibatkan lahan pertanian mereka gagal panen. (Baca: https://kanopihijauindonesia.or.id/warga-muara-maung-tagih-ganti-rugi-4-perusahaan-tambang-batu-bara/)
Dalam sebuah diskusi online yang digelar terkait hal itu,Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar menegaskan, warga sudah menjalani seluruh proses, mulai dari mengadukan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian yang ikut melihat langsung lokasi terdampak banjir. Selain itu sudah digelar pertemuan di desa dan membentuk tim verifikasi untuk menaksir kerugian materil yang dialami oleh warga.
“Semua hanya sebatas proses tidak ada realisasi. Mereka juga sudah ketemu personalia perusahaan dan mereka berjanji akan berkoordinasi dengan tiga perusahaan lainnya faktanya sampai saat ini sudah beberapa bulan tidak ada realisasi,” sebut Ali.
Pada kesempatan yang sama, Aktivis JATAM, M Jamil menilai, penderitaan yang dialami warga Lahat saat ini adalah buah kejahatan negara bersama korporasi. Karena, dalam sistem pemenuhan energi yang predatorik seperti industri ekstraktif batu bara, maka rakyat yang akan menjadi korban pertama dan paling menderita
Tak berselang dari aksi warga menutup jalan tambang batubara, warga yang menuntut haknya mulai mendapat intimidasi dan teror dari sejumlah pihak. Terkait hal ini, M Jamil mengatakan, dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pasal 66 menyebut bahwa setiap warga negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Aktivis lingkungan Desa Muara Maung, Syawan mengungkapkan, ikut terlibat dalam ekspedisi menyusuri Sungai Kungkilan yang dilakukan sejak 2019-2020. Dalam beberapa kali penelusuran, pihaknya memastikan bahwa sungai itu tercemar diduga limbah B3 dari PT.BAU berupa minyak oli dari area work shop, yang berada dekat stockpile dengan koordinat N 03 46`53.12` dan E 103 4O`32.08`. Tidak hanya itu, beberapa titik pemindahan alur Sungai Kungkilan juga diketahui berada di wilayah operasi PT BAU.
Kepada awak media pada pertengahan April 2021, ia mengungkapkan, warga Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, yang tak kunjung mendapat ganti rugi atas kerusakan lingkungan akibat ulah perusahaan tambang, berencana menggelar aksi damai dibantaran Sungai Kungkilan yang saat ini sudah tercemar limbah cair batubara. (Baca: http://www.lensaaktual.my.id/2021/04/diduga-dampak-pertambangan-batubara.html).
PT BAU Bantah Lakukan Pencemaran Lingkungan
Medio April 2021 lalu, Pemkab Lahat memberi sanksi kepada empat perusahaan tambang yakni, PT Bara Alam Utama (PT BAU), PT Muara Alam Sejahtera (PT MAS), PT Bumi Merapi Energi (PT BME) dan PT Karya Kasih Agung (PT KKA). Sanksi yang diberikan adalah sanksi untuk memperbaiki Kolam Pengendap Lumpur (KPL) serta proses pembuangan limbah dari aktivitas tambang.
Hanya saja, sanksi yang diberikan oleh Pemkab melalui Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat ini tidak menjawab sepenuhnya tuntutan warga, ataupun kerugian yang dialami warga akibat kerusakan lingkungan karena aktivitas pertambangan.
Sebab, Kepala Dinas LH Kabupaten Lahat Ir Agus Salman, melalui Komisi Penilai AMDAL Bidang Gakum Eddy Suroso yang membidangi Gakum mengatakan, mengenai ganti rugi itu penyelesaiannya diserahkan kembali kepada pihak perusahaan dan warga. (Baca: https://wideazone.com/sungai-kungkilan-tercemar-dlh-lahat-jatuhkan-sanksi-bagi-4-perusahaan-tambang/).
Selanjutnya, Humas dan Legal PT BAU, Pandu Prayudha menyampaikan klarifikasi kepada awak media. Pihaknya membantah kalau PT BAU melakukan pencemaran di Sungai Kungkilan. Bagi mereka isu itu tidak benar, sebab PT BAU telah melakukan pemeriksaan sampel air di KPL secara berkala. Pandu juga menyatakan, KPL PT BAU yang bermuara (mengalir) ke Sungai Kungkilan dalam keadaan baik. (Baca: https://koransn.com/pt-bara-alam-utama-bantah-lakukan-pencemaran-limbah-pada-sungai-kungkilan/).
Apa yang disampaikan Pandu itu membantah hasil investigasi warga sebelumnya yakni, GPPAK, maupun investigasi yang dilakukan oleh WALHI Sumsel di tahun sebelumnya. Padahal, selain pencemaran, pemindahan alur Sungai Kungkilan yang dilakukan oleh perusahaan tambang ini menurut Direktur Walhi Sumsel M Hairul Sobri menyebabkan bencana yang dialami masyarakat.
Banjir kerap terjadi dan dirasakan warga, air sungai meluap bercampur lumpur dan mengakibatkan tanaman warga gagal panen. Belum lagi ternak yang mati atau kesulitan mendapat makanan karena tanah dan lingkungan sekitar sudah bercampur dengan limbah berbahaya dari aktivitas tambang.
“Dalam aktivitas korporasi (Perusahaan Tambang) ini, tidak mengacu dengan kajian lingkungan atau yang biasa disebut amdal. Sehingga dalam pelaksanaannya terjadi bencana, dan lagi-lagi warga yang merasakan, warga yang dirugikan," kata Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hairul Sobri, sambil menyebut pihaknya sudah membuat kajian yang kuat.
Ditempat terpisah, Manager Kampanye Energi, Kars dan Pertambangan, Febrian Putra Sopah menuturkan, sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas untuk melakukan pemulihan kondisi Sungai Kungkilan. Karena berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3) menegaskan: setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Ya salah satu langkah yang paling efektif untuk menghentikan akumulasi penurunan kualitas air tersebut ialah Pemerintah Kabupaten Lahat harus segera mencabut izin lingkungan perusahaan ini,” tegas Febrian.
Pernyataan senada diutarakan Direktur Eksekutif Kawal Lingkungan Hidup Indonesia Lestari Provinsi Sumatera Selatan (Kawali Sumsel), Chandra Anugrah Surya, Bahwa bencana yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya di kawasan Merapi Barat, Kabupaten Lahat ini merupakan akumulasi dari lemahnya pengawasan pemerintah.
"Bertahun-tahun permasalahan ini tidak pernah selesai, artinya pemerintah lemah dan tidak bisa bersikap terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang ini. Pencemaran ini secara nyata telah menganggu kehidupan masyarakat," ungkap Chandra. (Baca: https://sinartimur.com/aktivitas-pertambangan-mencemari-sungai-kawali-sumsel-mendorong-pemerintah-harus-menutup-aktivitas-perusahaan-tambang/).

Selain Pencemaran Lingkungan, Aktivitas PT BAU Juga Kerap Diprotes Warga
Protes terhadap PT BAU yang dilakukan warga bermula pada September 2018. Saat itu, ratusan warga Desa Ulak Pandan, Kecamatan Merapi Barat, menggelar aksi damai di areal tambang batubara milik PT Bara Alam Utama (BAU).
Aksi tersebut dilatari dugaan penyerobotan lahan adat Himbe Kemalau milik warga tiga Desa yakni Ulak Pandan, Lebak Budi dan Negeri Agung, Kecamatan Merapi Barat Kabupaten Lahat. (Baca: https://palembang.tribunnews.com/2018/09/06/ratusan-warga-gelar-aksi-damai-di-tambang-batubara-pt-bara-alam-utama-kabupaten-lahat)
Protes terhadap aktivitas tambang PT BAU kembali terjadi pada 6 Februari 2020, kali ini kembali dilakukan oleh warga Desa Ulan Pandan yang merasa PT BAU tidak hanya telah merusak atau merambah hutan adat milik warga yang disebut Himbe Kemilau itu, tetapi juga disinyalir telah merusak makam puyang (leluhur) desa setempat. (Baca: https://sumeks.co/warga-protes-makam-dan-tanah-adat-rusak-pt-bau-diminta-angkat-kaki/)
Ketidakseriusan pihak terkait dalam menyelesaikan permasalahan ini, membuat warga kembali melancarkan protes, tak berselang lama dari aksi sebelumnya. Warga Desa Ulak Pandan memprotes kebijakan perusahaan yang meminta bantuan kepolisian untuk melakukan pengamanan.
Hingga warga menduga PT BAU yang merupakan perusahaan PMA yang secara sengaja membenturkan permasalahan ini antara polisi dan warga yang tentunya dapat berimbas pada konflik horizontal antar warga lokal, tanpa ada niat untuk menyelesaikan permasalahan sebenarnya. (Baca: https://daerah.sindonews.com/berita/1527172/174/warga-keberatan-polri-jaga-lahan-pt-bau-yang-sengketa-dengan-masyarakat).
- Bara Alam Utama Akui Perubahan Alur Sungai Kungkilan Tinggal Tunggu Rekomendasi, Begini Kata Walhi