Tertangkapnya Djoko Tjandra di Malaysia mendapat sorotan hebat dari media di Tanah Air. Ada stasiun televisi yang menyelenggarakan breaking news. Di sisi lain, tak sedikit orang mengaitkan peristiwa ini dengan siapa yang bakal menjadi Kapolri nanti.
- Ketua Satgas IDI: Omicron Itu Puncak Gunung Es
- Pemerintah Mulai Salurkan Bantuan Subsidi Upah ke 16 Juta Pekerja
- Pemkab dan PMI Empat Lawang Salurkan Bantuan Korban Kebakaran di Seleman Ulu
Baca Juga
Menangkap femomena itu, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tergelitik mengomentari keberhasilan Polri tersebut.
Menurut Reza, sebenarnya keberhasilan Polri mengakhiri pelarian terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu merupakan hal biasa dan bukan prestasi yang perlu dibesar-besarkan.
Namun, penangkapan itu menjadi terlihat wah karena selama ini masyarakat kadung menganggap Polri kurang serius.
"Bahwa Djoko Tjandra nanti diproses, itu pun biasa saja. Dengan dasar sikap seperti itu, walau tidak saya nihilkan, tetapi saya tidak akan catat penangkapan tersebut sebagai nilai tambah jika dikait-kaitkan dengan narasi pencalonan Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis," ucap Reza kepada jpnn.com, Jumat (31/7).
Namun, peraih gelar master psikologi forensik dari University of Melbourne, Australia itu mengharapkan keberhasilan Polri menangkap Djoko Tjandra menjadi jalan pembuka bagi pembersihan di seluruh lembaga penegakan hukum.
Menurutnya, pembersihan itu pun semestinya dilakukan melalui penindakan organisasi dan pidana. Selanjutnya, hasilnya diumumkan ke publik.
"Mengapa sisi itu yang justru lebih saya hargai? Tak lain karena di institusi penegakan hukum marak subkultur bernama Blue Curtain Code atau Code of Silence, yaitu kebiasaan menyimpang untuk menutup-nutupi kesalahan sesama kolega," tuturnya.
Reza menjelaskan, Code of Silence ada pada seluruh lapisan organisasi penegakan hukum. Namun, efeknya lebih destruktif ketika berlangsung di jajaran petinggi.
Itulah yang kelak menjadi tantangan bagi pengganti Jenderal Idham Azis di pucuk pimpinan Polri.
"Alhasil, siapa pun yang mampu menolak Code of Silence itu, artinya sanggup melakukan pembersihan internal, dialah yang cocok menjadi orang nomor satu di organisasinya," tandas dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu.[ida]
- PKS Minta Pemerintah Patuhi Keputusan Judicial Review MK tentang UU Minerba
- Cegah Kepadatan, Menhub Minta Operasional Mudik di Pelabuhan Merak Terapkan First In First Out
- Warga Natuna Siapkan Upacara Khusus untuk Lepas 238 WNI dari Wuhan