Di Tengah Kecamuk Krisis Ekonomi-Pandemi, Pemerintah Didesak Mundur

Buntut Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), perekonomian Thailad mengalami resesi. Kini negara itu kembali bergejolak. Protes meletus untuk menuntut pengunduran diri pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Bukan hanya pemerintah, para demonstran juga mengkritik kerajaan.


Tanpa mengindahkan larangan pertemuan publik, sekitar 2.500 demonstran yang dipimpin oleh mahasiswa berkumpul di dekat Monumen Demokrasi Bangkok pada Sabtu malam (18/7).

Itu menjadi demonstrasi jalanan terbesar sejak kudeta militer 2004. Di sana, para demonsran mengajukan tiga tuntutan, yaitu pembubaran parlemen, diakhirinya pelecehan terhadap kritik pemerintah, dan amandemen konstritusi tertulis militer yang menurut para kritikus menjadi alasan kemenangan Partai Prayut dalam pemilihan tahun lalu.

Prayut adalah mantan kepala militer yang menggulingkan pemerintahan terpilih enam tahun lalu.

"Bagaimana kita bisa baik-baik saja dengan kurangnya demokrasi seperti ini?" tanya aktivis mahasiswa, Tattep Ruangprapaikit seperti dikutip Reuters.

Menurut keterangan penyelenggara dan wartawan, protes pada awalnya hanya diikuti kelompok-kelompok mahasiswa. Namun pada malam hari ratusan orang ikut bergabung.

Sementara itu, polisi bersiaga di sekitar monumen. Monumen juga ditutup dengan tanda bertuliskan "Tidak bisa masuk tanpa izin. Pemeliharaan sedang berlangsung".

Demonstrasi bubar sekitar tengah malam, namun pihak penyelenggara mengatakan akan kembali ke jalan dalam dua pekan jika tuntutan mereka tidak terpenuhi.

Dalam beberapa bulan terakhir, kritikan terhadap Prayuth telah meningkat. Sejak pemilu tahun lalu, sebuah pengadilan membubarkan partai oposisi terbesar kedua di Thailand agar koalisi memiliki kontrol yang lebih kuat di parlemen.

Selain pemerintah, para demonstran juga mengkritik monarki Thailand secara implisit mengingat adanya hukum yang melarang kritik terhadap raja. Thailand secara resmi adalah monarki konstitusional, tetapi menghina raja dapat dihukum hingga 15 tahun penjara, dan banyak konservatif memandang monarki sebagai sesuatu yang sakral.

"Ini negara kita, tapi rumah siapa di Jerman," ujar salah satu pemimpin protes merujuk pada tanah milik Raja Vajiralongkorn yang memiliki tanah di Jerman.

Ia juga menghabiskan banyak waktunya di sana.

Dalam protes tersebut juga muncul spanduk bertuliskan "Partai Rakyat Tidak Mati", merujuk pada partai politik yang mengakhiri pemerintahan kerajaan mutlak pada 1932. Pekan lalu, pemerintahan Prayuth pecah setelah beberapa anggota kabinet mengundurkan diri karena perselisihan internal.[ida]